BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra
piwulang dalam tradisi kesusastraan Jawa adalah teks berbahasa Jawa yang
ditulis oleh raja atau pujangga istana untuk dijadikan dasar bagi pembentukan
watak dan perilaku kerabat istana. Salah satu contoh sastra piwulang tersebut
adalah Serat Kidungan Kawedhar,
karena dalam Serat Kidungan Kawedhar terdapat
ajaran-ajaran piwulang yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk
mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam
pembahasan Serat Kidungan Kawedhar, tidak terlepas dari sebuah sejarah
babad, yakni sejarah itu tentu berkaitan dengan proses Islamisasi di tanah
Jawa, karena kidung tersebut sebagai salah satu media dakwah ketika itu dan
juga sebagai doa mistis. Keberhasilan Islam pada penduduk Jawa adalah berkat
kerja keras para mubaligh yang tangguh. Mereka adalah para wali yang terhimpun dalam
suatu lembaga dakwah yang terkenal yaitu Wali Sanga. Proses pengIslaman pada
masa itu terjadi secara damai karena metode yang digunakan oleh para wali dalam
berdakwah menggunakan metode yang luwes, artinya dengan menggunakan unsur-unsur
budaya lama (Hinduisme dan Buddhisme), namun secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai
Islam ke dalam unsur-unsur lama tersebut.
Wali Sanga dapat dengan lebih mudah
memasukkan Islam karena agama tersebut dibawa dalam kemasan Jawa. Artinya
masyarakat diberi pengetahuan yang berbentuk budaya Jawa namun isinya Islam. Banyak
upaya dalam mengambil unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan nilai-nilai
Islam yang dalam hal ini nilai-nilai religiusitas, misalnya seperti yang dilakukan
oleh Sunan Kalijaga dengan “Serat kidungan Kawedhar”. Salah satu wali
yang sangat terkenal bagi orang Jawa adalah Sunan Kalijaga. Kemampuan dalam
melakukan asimilasi, adaptasi dan akulturasi budaya Jawa dengan Islam, membawa
dampak yang positif dalam tugasnya sebagai seorang mubaligh yang tanpa menggunakan
kekerasan sama sekali.
Sunan Kalijaga adalah profil tokoh agama
yang sekaligus budayawan yang kreatif, hampir seluruh hidupnya dipenuhi perjuangan
untuk kepentingan umat. Salah satu usahanya dibidang kebudayaan adalah
pelestarian wayang kulit, kerawitan, sastra Jawa dan adat tradisi. Bahkan tanpa
terasa dengan wayang kulit, gending sekaten dan lagu Ilir-Ilir dapat dijadikan
sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam. Beliau juga menciptakan kidung wingit yang berfungsi sebagai
tolak balak dari berbagai malapetaka dan makhluk halus. Kidung ini diberi nama Serat Kidungan Kawedhar.
Kidung dalam Ensiklopedi Indonesia
diartikan sebagai karya sastra rakyat atau puisi dalam bahasa Jawa tengahan,
berupa cerita romantikal seperti cerita pelipur lara. Berbentuk tembang yang
dapat dinyanyikan. Serat Kidungan
Kawedhar apabila diartikan secara keseluruhan adalah sebuah karya sastra
atau puisi berbahasa Jawa tengahan yang berbentuk tembang dan dapat dinyanyikan
yang berguna untuk menjaga atau merawat sesuatu. Kidung ini adalah kidung wingit (keramat), atau mantra
atau doa yang disusun dengan berbahasa Jawa sebagai doa perlindungan,
penyembuhan. Dari buku yang sudah dibaca, tidak ditemukan informasi yang
menjelaskan kapan serat ini dibuat, namun Serat
Kidungan Kawedhar ini ditulis setelah Sunan Kalijaga menjadi Wali Sanga.
Serat
Kidungan Kawedhar ditulis oleh Sunan Kalijaga untuk menjembatani
hal-hal yang bersifat supranatural. Karena pada tahun-tahun awal perkembangan
Islam di Jawa bersifat sangat mistis yang pada dasarnya kepercayaan pra-Islam
memandang tinggi animisme dan dinamisme. Kenyataan yang terjadi pada penyebaran
Islam pada waktu itu banyak berbenturan pada orang-orang yang tidak kompromi
dengan diplomasi sehingga menyerang balik apa-apa yang telah diajarkan oleh Sunan
Kalijaga tentang ajaran Islam yaitu dengan Black
Magic. Sehingga beliau menulis kidung
wingit yang diberi nama Serat
Kidungan Kawedhar yang di dalamnya memuat berbagai macam mantra untuk menolak
balak di malam hari, seperti teluh, tenung, santet dan lain sebagainya.
Kidung ini merupakan sarana dakwah dalam
bentuk tembang yang populer dan menjadi kidung
wingit, karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti. Serat Kidungan Kawedhar merupakan sebuah
karya sastra yang berbentuk tembang. Struktur Serat Kidungan Kawedhar yang berbentuk tembang terdapat
aturan-aturan yang mengikat disebut metrum. Metrum memiliki pola tertentu yang
bersifat tetap, aturan tersebut antara lain: guru gatra, pada, guru lagu, guru
wilangan, pupuh, dan sasmita tembang. Guru gatra adalah jumlah baris dalam
setiap bait, pada adalah bait yang menyusun tembang, guru lagu adalah
berhentinya suara atau dong ding di akhir baris, guru wilangan adalah jumlah
suku kata setiap baris, pupuh adalah susunan metrik dan ritme dalam tembang
yang tertentu, dan sasmita tembang adalah kata yang menunjuk ciri dari suatu
tembang yang telah ditetapkan.
Serat
Kidungan Kawedhar yang berbentuk tembang macapat ini
terdiri dari pupuh Dhandhanggula yang berisi empat puluh lima bait dan
seolah-olah sampai saat ini abadi. Orang-orang pedesaan masih ada yang hafal dan
mengamalkan syair kidung ini. Sebagai sarana dakwah kepada anak cucu, nasehat.
Kidungan dalam bentuk tembang akan lebih langgeng dan awet dalam ingatan.
Sepeninggal Sunan Kalijaga, kidung ini menjadi milik rakyat, siapapun yang
membaca dan mengamalkan sebagai doa.
Karena kidung ini merupakan doa, dan
dalam berdoa seseorang harus yakin apa bahasa yang digunakan itu yaitu dengan
memahami apa yang diucapkan, tentu saja disertai keyakinan yang tinggi, serta
mengerti makna doa yang digunakan. Maka di sinilah Sunan Kalijaga menciptakan
doa mantra yang berbahasa Jawa. Karena dengan doa berbahasa Jawa akan mudah
dihayati dan diyakini bila bahasanya dimengerti. Selain itu juga untuk
mengantisipasi menghadapi jaman edan yang begitu menyengsarakan sendi-sendi
kehidupan rakyat, hidup serba tidak menentu, semuanya serba sulit menentukan
sikap, serta tidak ada fundamen keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang benar
dan kokoh.
Makna dari kidung atau sabda suci yang
dimaksudkan untuk menjaga diri di malam hari. Karena malam hari merupakan sumber
berbagai macam kejahatan. Walaupun siang hari tidak jauh beda, namun malam hari
lebih banyak lagi, karena malam hari kejahatan tidak dilakukan secara tidak
terang-terangan. Pada bait pertama
Serat Kidungan Kawedhar, berisi ajaran tentang perlindungan dari dari
berbagai kejahatan yang bisa dilakukan di malam hari. Bukan hanya kejahatan
dari hasil perbuatan jahat orang atau pencuri, tetapi juga kejahatan ghaib
seperti sihir, teluh, tuju, santet dan sebagainya. Dengan melafalkan kidung
ini, berbagai kejahatan malam tersebut akan menyingkir. Bukan diperangi, tetapi
ditolak. Bukan disingkirkan, tetapi kejahatan itu sendiri yang menyingkir.
Inti laku pembacaan kidung adalah agar
senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari
kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian dituntut untuk senantiasa
berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Serat Kidungan
Kawedhar berfungsi sebagai penyembuh segala macam penyakit, mempercepat jodoh bagi perawan tua, penolak
bala yang datang di malam hari, sepeti teluh, santet, hama dan pencuri, menang dalam
perang, memperlancar cita-cita luhur dan mulia. Semuanya itu harus didasari
dengan keimanan, karena orang yang teguh kepercayaannya, kokoh itikatnya,
matang tauhidnya, tidak akan terkena sihir atau tenung. Menyerahkan diri
sepenuh hati akan segala nasibnya kepada Tuhan, di samping berusaha keras
memenuhi segala syarat-syaratnya. Kecuali itu dia percaya dan yakin bahwa
segalanya akan kembali kepada-Nya. Maka segala puja dan puji hanya teruntuk
kepada-Nya.
Dari
penjelasan Serat Kidungan Kawedhar
diatas isi teks Serat Kidungan Kawedhar
mengandung ajaran-ajaran religiusitas, oleh karena itu kajian dalam penelitian
ini adalah religiusitas. Permasalahan yang diteliti adalah wujud ajaran dan
nilai-nilai religiusitas dalam Serat
Kidungan Kawedhar. Di dalam Serat
Kidungan Kawedhar terdapat ajaran-ajaran yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesempurnaan hidup. Isi teks Serat Kidungan Kawedhar tersebut
bernafaskan oleh agama Islam, namun persoalan-persoalan yang muncul adalah
masalah tentang religiusitas. Religiusitas berfungsi sebagai sarana pendukung,
penyalur, dan acuan bagi segala perasaan dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Religiusitas yang demikian juga dapat menyalurkan dan mengarahkan seluruh cinta
dan keinginan manusia mewujudkan kesalehannya kepada Tuhan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian karya sastra Serat
Kidungan Kawedhar mengacu pada
pembatasan masalah, yaitu:
1) Bagaimana wujud ajaran religiusitas yang terdapat
dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
2) Nilai-nilai religiusitas apa sajakah yang terdapat
dalam Serat Kidungan Kawedhar?
1.3 Tujuan Penelitian
Setelah
mengetahui rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan yang hendak dicapai,
yaitu:
1) Mengungkap wujud ajaran religiusitas yang terdapat
dalam teks Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
2) Mengetahui nilai-nilai religiusitas apa saja yang
terdapat dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
Secara teoritis, yang pertama dari hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk
mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai ajaran-ajaran dan
nilai-nilai. Kedua, dengan penelitian ini dapat menambah ilmu dan wawasan
pembaca, serta menambah khasanah budaya bangsa khususnya pembendaharaan kata
sastra Jawa. Ketiga, penelitian ini
bermanfaat untuk merangsang minat peneliti lain
untuk menggali dan melestarikan karya sastra Jawa.
Secara praktis penelitian ini
mempunyai beberapa manfaat yaitu: pembaca dapat memahami makna dan ajaran yang
terkandung dalam Serat Kidungan Kawedhar
karya Sunan Kalijaga. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi acuan atau bahan
ajar untuk meningkatkan ilmu serta menambah wawasan dan cakrawala baru bagi
pembaca serta generasi penerus di masa mendatang karena isi kandungan Serat Kidungan Kawedhar relevan dengan
kehidupan sekarang serta memberikan pencerahan yang mendalam kepada para
pembacanya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian-penelitian tentang
religiusitas pernah dilakukan oleh mahasiswa, antara lain: Sekar Tresning Rahayuanti
(2008) dengan judul Religiusitas dalam
serat “Kalatidha” Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa nilai religiusitas dalam Serat Kalatidha ditunjukkan
adanya konsep bahwa manusia mengakui akan kekuasaan yang lebih tinggi daripada
dirinya, yang sering disebut sebagai Sang Khalik, Yang Maha Kuasa sebagai
sumber kekuatan yang mengatasi manusia.
Peneliti
Sri Winarsih (2008) dengan judul Religiositas
dalam Kumpulan Crita Cekak Senthir Karya Suwardi Endraswara. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa pada analisis tingkat pengalaman religius pengarang
berada pada tingkat niveau human, karena tingkatan ini yang paling dominan
dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir.
Analisis tingkat kedewasaan religius pengarang berada pada tingkat thought (penghayatan dan pemahaman)
karena tingkat ini paling dominan dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir, kumpulan Crita
Cerkak Senthir ini merupakan catatan pengarang dalam pencarian Tuhan.
pengarang dalam hal ini menunjukkan bahwa pengarang sudah menghayati
keimanannya. Nilai-nilai religius dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir dominan pada nilai religius hubungan manusia
dengan sesama manusia yang terdapat pada enam crita cerkak dari dua belas crita
cerkak yang dianalisis, hubungan manusia dengan Tuhan terdapat pada tiga crita cerkak, hubungan manusia dengan
diri sendiri terdapat pada lima crita cerkak. Nilai religius hubungan manusia
dengan alam sekitar peneliti tidak menemukan dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir karya Suwardi
Endraswara.
Penelitian yang lain Prihartini
(1997) dengan judul Religiositas dalam
Novel Nyali Karya Putu Wijaya dan Alternatif Pengajaran di SMU. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas yang nampak dan muncul ketika
manusia berada dalam jurang kehancuran dimana manusia merasakan ketenangan
batin. Saat itulah manusia meyakini bahwa Tuhan itu ada dan segala kebesaran
dan kekuasaan-Nya, sehingga semakin teballah keimanan seseorang. Hasil analisis
tersebut juga menyebutkan bahwa novel Nyali dapat dijadikan sebagai bahan ajar
dalam pengajaran sastra di SMA.
Penelitian-penelitian tentang religiusitas
tersebut merupakan dasar dari penelitian yang akan dikaji peneliti. Penelitian
Sekar Tresning Rahayuanti (2008) isinya adalah membahas tentang masalah
religiusitas yang ada didalam Serat
Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Penelitian Sri Winarsih (2008)
membahas tentang masalah religiusitas yang ada di dalam Crita Cekak Senthir Karya Suwardi Endraswara. Sedangkan penelitian
Prihartini (1997) isinya membahas tentang religiusitas dalam Novel Nyali karya Putu Wijaya dan
alternatif pengajaran di SMA.
2.2 Pengertian Karya
Sastra
Karya
sastra mempersoalkan mengenai masalah sosial, artinya segala sesuatu yang
mengenai masyarakat, berbeda dengan ilmu yang menitikberatkan kajian terhadap
masalah-masalah masyarakat yang disebut sosiologis. Karya sastra juga
menyajikan hubungan dan pengaruh timbal balik antar aneka macam gejala sosial,
misalnya antar gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan
ekonomi, gerakan masyarakat dengan politik, dan sebagainya (Sorokin dan
Soekanto dalam Imron, 1995:159). Ilmu sosiologi pada dasarnya mempelajari
kesatuan hidup manusia yang terbentuk antara satu dengan lainnya, antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan
kelompok (Susanto dalam Imron, 1995:159).
Sastra
merupakan bagian daripada kebudayaan. Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat
itu erat karena kebudayaan itu sendiri. Menurut pandangan antropologi,
kebudayaan adalah hasil karya manusia atau masyarakat yang mengadakan sistem
nilai berupa aturan untuk menentukan suatu benda atau perbuatan yang tinggi
nilainya, dikehendaki dari yang lain (Semi, 1989:54).
Di
dalam lingkungan kehidupan masyarakat suatu bangsa terdapat acuan perilaku yang
menjadi landasan setiap manusia dalam berbuat. Acuan perilaku ini disebut
kebudayaan. Kebudayaan berarti (1) suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan yakni sistem makna
yang bersifat kognitif dan sistem nilai yang bersifat normatif, (2) suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat (sistem
sosial), ataupun (3) benda-benda hsil karya manusia atau kebudayaan fiksi
(Koentjaraningrat, 1986:186-187).
2.3 Teori Apresiasi
Puisi (Tembang Jawa)
Tembang Jawa didokumentasikan dalam
bentuk naskah. Naskah sendiri menurut Baried, dkk (1994:55) adalah tulisan
tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil
budaya bangsa masa lampau. Semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah (handscrif dengan singkatan hs untuk tunggal, hss untuk jamak; manuscript
dengan singkatan ms untuk tunggal, mss untuk jamak). Tidak jauh berbeda
Dipodjodjo (1996:7) menerangkan bahwa naskah adalah segala tulisan tangan yang
menyimpan berbagai ungkapan cipta, rasa, dan karsa manusia yang hasilnya
disebut karya sastra, baik yang tergolong dalam arti umum maupun dalam arti
khusus yang semuanya merupakan rekaman pengetahuan masa lampau bangsa pemilik
naskah itu.
Suatu naskah manuskrip (bahasa Latin
manuscript: manu scriptus ditulis
tangan), secara khusus adalah semua dokumen tertulis yang ditulis tangan,
dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan cara lain. Kata
naskah diambil dari bahasa Arab nuskhatum
yang berarti sebuah potongan kertas. Jadi naskah adalah semua tulisan tangan
yang mengandung atau menyimpan suatu ungkapan pikiran dan perasaan penulis
naskah yang merupakan hasil budaya masa lampau yang biasanya berupa teks.
Salah
satu teori sastra yang dapat dipakai untuk mendukung meneliti karya satra
adalah pendekatan psikologi sastra.
Psikologi sastra bertujuan untuk menemukan suatu nilai kehidupan yang berguna
bagi peneliti ataupun masyarakat luas, sebab nilai-nilai itu dapat dikaji dari
perilaku tokoh karya sastra itu. Padahal tokoh adalah gambaran dari kehidupan
manusia menurut ide pengarang. Dalam hubungan ini, identik dengan karangka yang
disajikan oleh pengarangnya terhadap kehidupan ini.
Analisa terhadap karya sastra
dilakukan melalui interpretasi oleh pembaca ataupun penikmatnya. Resepsi
sastra, dimaksudkan bagaimana pembaca itu memberikan makna terhadap karya
sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadap
karya sastra itu. Tanggapan itu bermacam-macam sifatnya, yaitu bagaimana orang
membaca atau meneliti karya sastra serta meneliti nilai-nilai yang didapatkan
dari karya sastra itu.
Pembaca sastra dapat mengkaji nilai
estetika karya sastra melalui ektifitas pembaca, sebab dasar dari aktifitas itu
karena adanya suatu anggapan bahwa karya sastra itu memiliki nilai etika
kehidupan, karena adanya pemikiran yang dituangkan pengarang dari refleksinya
terhadap tingkah laku masyarakatnya. Sekaligus karya sastra itu menyimpan
konsepsi keindahan dan menanamkannya kedalam perasaan pembacanya.
Adanya perbedaan antara yang
disajikan pengarang dalam karya sastra dengan interpretasi pembacanya, karena
latar belakang pendidikan dan cerita budaya pembacanya tidak menutup penelitian
karya sastra. Bahkan membuka keluasan orientasi pemahaman terhadap sikap tokoh
misalnya, pemahaman terhadap simbol dari manusia nyata. Fungsi estetika dalam
karya sastra, bukar sekedar kualitas seni secara objektif, tetapi tergantung
kepada aktifitas pembacanya. Menurut pandangan ini, kenyataan sastra dibentuk
melalui transformasi oleh pembacanya menjadi arti estetika (Teeuw, 1985: 358).
2.4 Pengertian Religiusitas
Kata religi berasal dari bahasa latin, religere, artinya memelihara diri, mengikat jadi satu. Budiharjo
(1991: 24) mengatakan bahwa religi
adalah suatu sistem kepercayaan yang memudahkan manusia menghubungkan dirinya
dan mengerti alam semesta dengan sesuatu yang ada di luar kekuasaan ilmu
pengetahuan.
Ismail
(1996: 19), kata religi (Belanda) dan
religion (Inggris) berasal dari
bahasa latin religere, sebagai induk
kedua bahasa ini yang berarti melakukan perbuatan dan penuh penderitaan yaitu
sejenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap.
Menurut
Drijarkara (2000: 9) religi berasal dari bahasa latin religio, akar katanya religare
yang berarti mengikat. Hal tersebut berarti bahwa religi merupakan kewajiban
atau aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya berfungsi untuk mengikat
dan mengukuhkan diri individu atau sekelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan
atau sesama manusia, serta alam sekitarnya. Religi
senantiasa berhubungan dengan realitas yang bersifat rohaniyah yang mungkin
dibayari sebagai suatu kekuatan tunggal menyalurkan dan mengarahkan seluruh
cinta dan keinginan manusia untuk berpartisipasi terhadap Tuhan.
Mangunwijaya
(1988: 31) membedakan istilah religi
atau agama dengan istilah religiusitas. Religi
(agama) menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan atau
keyakinan-keyakinan. Sedangkan religiusitas menunjuk aspek religi yang telah dihayati oleh individu diddalam hati. Anshari
(1986: 27) mengartikan religi, agama
atau diin sebagai suatu sistem credo
(tata keimanan atau keyakinan) atas dasar sesuatu yang mutlak di luar diri
manusia dan merupakan suatu sistem rius
(tata peribadatan) manusia kepada yang dianggap mutlak, serta suatu sistem
norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan hubungan
manusia dengan lingkungan atau alam.
Dister
(1997:38) mengatakan religiusitas adalah suatu keadaan dimana individu
merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan
manusia dan hanya kepada-Nya manusia merasa tergantung serta berserah diri.
Semakin seseorang mengakui adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya maka semakin tinggi
tingkat religiusitasnya. Sedangkan menurut Atar Semi (1991: 41) pengertian
religiusitas meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan
tingkah laku keagamaan yang teroganisir dalam sistem mental dan kepribadian.
Orang yang taat beragama atau religi
berarti menyerahkan diri, tunduk dan taat. Akan tetapi dengan tunduk, taat dan
menyerahkan diri itu manusia tidak merasa celaka, seperti orang yang dipaksa
oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dikalahkan, tetapi keikatan dan
ketaatan itu dialami dan dirasakan sebagai sesuatu yang menyangkut dan
membahagiakan (Drijarkara, 1978: 22).
Menurut
Masruri dkk (1989: 34) untuk mengetahui religiusitas seseorang bukanlah hal
yang mudah karena harus mengungkap mulai dari keyakinan sampai perbuatannya. Di
samping itu juga terbentur adanya ajaran tiap-tiap agama, oleh sebab itu dalam
penelitian ini religiusitas hanya dipandang dari sudut pandang agama Islam saja
karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.
Religi
dapat berfungsi sebagai sarana pendukung, penyalur dan acuan bagi segala
perasaan dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Religi yang demikian dapat menyalurkan dan mengarahkan seluruh
cinta dan keinginan manusia untuk berpartisipasi kepada Tuhan.
Agama
sendiri terdiri atas tiga pengertian yaitu keyakinan tentang Tuhan, peribadatan
sebagai konsekuensinya tentang adanya Tuhan dan norma-norma yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan
lingkungan. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa orang yang religius
adalah orang yang yakin tentang adanya Tuhan. Selain itu segala tindakannya
baik yang berkaitan dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan selalu mengacu
dan tunduk pada nilai-nilai agama.
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut, maka secara definitif dapat disimpulkan bahwa
religiusitas adalah sikap batin manusia yang merasa disentuh oleh kehadiran
Tuhan dan diwujudkan dengan ketaatan terhadap agama yang meliputi adanya
keyakinan terhadap Tuhan, peribadatan dan norma-norma yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan lingkungan.
2.4.1
Dimensi Religiusitas
Glock dan Strak (dalam Suroso, 2001:24)
membagi dimensi-dimensi religiusitas sebagai berikut:
1)
Dimensi Keyakinan (ideological)
Dimensi ini berisi
pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan
teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. setiap agama
mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan taat,
misal adanya Tuhan, Malaikat, Surga, Neraka serta Qodho dan Qadhar.
2)
Dimensi Praktek Agama (ritualistic)
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan,
ketaatan dengan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen
terhadap agama yang dianut, mencakup ritual dan ketaatannya, misal dengan
sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah kurban.
3)
Dimensi Penghayatan (experimental)
Dimensi ini berisikan dan
memperhatikan faktor bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan
tertentu, meskipun tidak tepat jika dikaitkan bahwa seseorang yang beragama
dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan akhir, misal: merasa
dekat dengan Tuhan, takut akan dosa, merasa doanya terkabul, dan diselamatkan
Tuhan.
4)
Dimensi Pengetahuan Agama (intellectual)
Dimensi ini mengacu kepada
harapan-harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah
minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab-kitab
suci dan hadist-hadist. Misal: hukum-hukum Islam, sejarah Islam, dan isi
kandungan Al-Qur’an.
5)
Dimensi Pengalaman (consequential)
Dimensi ini mengacu pada
identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan praktek atau pengalaman dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari atau sejauh mana perilaku seseorang
dimotivasi oleh ajaran agamanya. Misal: suka menolong, bekerjasama, dan
berderma.
Masrum (1989) menyatakan bahwa
religiusitas yang ditinjau dari agama Islam mengungkap 5 (lima) aspek yang
mencakup religiusitas, yaitu:
1) Aspek iman, menyangkut keyakinan
dan hubungan manusia dengan Tuhan, Malaikat, Nabi, Kitab Suci, hari kiamat,
takdir baik, dan takdir buruk.
2) Aspek Islam, menyangkut
frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan. Misalnya
sholat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu.
3) Aspek ihsan, menyangkut
pengalaman dan perasaan tentangkehadiran Tuhan, takut melanggar larangan-Nya.
4) Aspek ilmu, menyangkut
pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya. Misalnya fiqih, tauhid, sejarah,
riwayat nabi.
5) Aspek amal, menyangkut tingkah
laku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya: membela orang yang
lemah, bekerja, dan sebagainya.
Dari
urian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek religiusitas ada lima yaitu
dimensi keyakinan (ideological)
sejajar dengan aspek iman, dimensi Praktek agama (ritualistic) sejajar dengan aspek Islam, dimensi penghayatan (experimental) sejajar dengan aspek
ihsan, dimensi pengetahuan agama (intellectual)
sejajar dengan aspek ilmu dan dimensi pengalaman (consequential) sejajar dengan aspek amal.
2.4.2
Nilai-Nilai Religiusitas dalam Karya Sastra
Nilai adalah suatu penghargaan atau
kualitas terhadap sesuatu yang dapat dijadikan dasar penentu tindakan seseorang
karena sesuatu atau hal itu menyenangkan, memuaskan, menarik, menguntung,
menguntungkan dan merupakan suatu sistem keyakinan nilai yang sifatnya sama
dengan ide, maka hal itu bersifat abstrak. Nilai tidak dapat ditangkap dengan
panca indera, karena yang dapat dilihat adalah obyek atau tingkah laku yang
mempunyai nilai. Nilai mengandung harapan dan dipandang sebagai konsepsi
abstrak dari diri manusia dalam baik buruknya. Nilai-nilai ini tumbuh sebagai
hasil pengalaman manusia dalam proses interaksi sosial (Muchricanah, 2004:11).
Nilai dalam Purwodarminto diartikan
sebagai (1) harga kepandaian; (2) harga satuan, misalnya uang; (3) anagka
kepandaian; (4) kadar, mutu; (5) sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau
berguna bagi kemanusiaan. Menurut Suyitno, nilai merupakan suatu yang kita
alami sebagai ajakan dari panggilan untuk dihadapi. Nilai mengarahkan perhatian
serta minat kita, menarik kita keluar dari kita sendiri kearah apa yang
bernilai. Nilai berseru pada tingkah laku dan membangkitkan keaktifan (Suyitno
dalam Sugito, 2005:71).
Nilai-nilai
religius dalam karya sastra menurut Pradopo (1994:10) dapat digolongkan menjadi
4 macam yaitu:
1)
Hubungan manusia dengan Tuhan
Yaitu
adanya hubungan secara vertikal antara manusia dengan Tuhan dalam melaksanakan
segala apa yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya, agar tidak
memberi kesan pengotakan agama pengarang, sehingga yang ditelaah adalah
perasaan keagamaan dalam karya sastra itu sendiri.
2)
Hubungan manusia dengan manusia
Yaitu
adanya hubungan secara horizontal antara manusia dengan manusia dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat, dimana manusiadapat saling dihargai,
dihormati, dan saling tolong-menolong.
3)
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Yaitu
adanya hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri dalam melaksanakan segala
apa yang menjadi kebutuhannya demi mencapai tujuan hidupnya, sehingga mereka
harus bekerja keras dan tidak putus asa.
4)
Hubungan manusia dengan alam lingkungan sekitar
Yaitu
adanya hubungan antara manusia dengan alam, kaitannya dengan manusia dapat
melestarikan dan menjaga lingkungan alam sekitar.
Karya sastra yang bernilai religius
memandang nilai moral religius secara universal, menempatkan nilai moral
religius dalam kesusastraan dalam arti yang sesungguhnya (Atmosuwito, 1999:126).
Karya sastra yang bernilai religius merupakan sikap yang kreatif yang amat
diperlukan yang membawa pembaca pada nilai-nilai yang baik menuju kearah
modernisasi seluruh masyarakat. Nilai religius berfungsi sebagai pegangan
manusia dan arahan hidupnya, jadi antara sastra dan religiusitas terdapat suatu
hubungan.
2.4.3
Tingkat Kedewasaan Religiusitas
Kata “kedewasaan” mempunyai arti
bahwa sesuatu yang pernah dialami seseorang lebih dari sekali sehingga keadaan
tersebut sangat merasuk kedalam jiwanya. Tingkat kedewasaan religiusitas dalam
hal ini adalah religiusitas yang telah merasuk ke dalam jiwa seseorang karena
ia telah mengalami beberapa kali dan ia mampu menghayati.
Menurut Iqbal (dalam Cremes,
1995:40) kedewasaan religiusitas seseorang dapat dibedakan dalam beberapa
tingkatan yaitu:
1)
Tingkat Faith
Yaitu
penerimaannya secara taat, tanpa syarat pada segala yang diperintahkan. Istilah
umumnya disebut iman, kepercayaan atau penyerahan. Iman atau kepercayaan ini
mengikutsertakan segala bakat manusia termasuk akal dan rasionalnya.
2)
Tingkat Through
Yaitu
tingkat penghayatan religiusitas yang lebih mendalam, dalam artian manusia
tidak hanya menerima begitu saja, melainkan juga memperhatikan sisi lainnya
yaitu penghayatan. Manusia dalam hal ini tidak hanya menerima dan menjalankan
anjuran religi tetapisudah sampai pada tingkatan penghayatan dan pemahaman.
3)
Tingkat Mistik
Mistik
disini bukan berbentuk mestikisme atau mistik tahayul yang pada dasarnya
menunjuk pada pengingkaran atau peleraian dari kehidupan nyata, melainkan
pendewasaan yang lebih menuju kedalam pencapaian kepribadian yang merdeka,
bukan karena pelepasan diri dari ikatan hukum (agama) melainkan berkat penemuan
sumber-sumber terakhir dari hukum di dalam hati nuraninya, dalam tingkatan ini
manusia benar-benar menyatu dengan Tuhan.
2.4.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Arifin (1997:26) mengutarakan ada 2
faktor yang mempengaruhi religiusitas dalam diri seseorang yaitu:
1)
Faktor Obyektif
Yaitu
seseorang beragama lantaran menaati segala sesuatu yang telah ditetapkan Tuhan.
jadi keyakinannya tumbuh dan menguat karena faktor luar, yakni adanya
petunjuk-petunjuk Tuhan yang berupa kitab suci. Dengan demikian kebenaran yang
dihayati bersifat obyektif.
2)
Faktor Subyektif
Yaitu
keyakinan yang ada dalam diri seseorang berasal dari dalam dirinya. Kemudian
keyakinan itu diolah dan dikembangkan dari dalam dirinya, dikonsepsikan
berdasarkan apa yang telah dipelajari melalui kitab suci, selanjutnya menjadi
pasangan yang dapat beramal. Aspek ini tidak bisa lepas dari aspek obyektif,
demikian pula sebaliknya. Kedua aspek ini saling terkait dan mempengaruhi.
Jalaludin dan Ramayulis (1987:41)
menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas seseorang berdasarkan
analisis psikososial yaitu:
1)
Faktor Psikologis
Dalam
hal ini kepribadian dan kondisi mental akan mempengaruhi religiusitas
seseorang. Kepribadian dan kondisi mental yang stabil menjadikan keyakinan
seseorang akan petunjuk-petunjuk dari tuhan dapat tertanam kuat pada dirinya.
2)
Faktor Usia
Usia
seseorang dapat mempengaruhi religiusitas karena berkaitan dengan seseorang.
Religiusitas pada usia, mengingat karakteristik pada masing-masing usia
berbeda.
3)
Faktor Jenis Kelamin
Meskipun
menurut hukum laki-laki dan wanita itu sama pada beberapa hukum yang secara
khusus diperuntukkan bagi laki-laki, wanita dan juga keduanya. Hal ini membawa
konsekuensi adanya perbedaan religiusitas pada diri laki-laki dan wanita dalam
menyikapi hukum-hukum agama yang ada, terkait dengan perbedaan pemahaman akan
hukum-hukum tersebut.
4)
Faktor Pendidikan
Tingkat
pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat religiusitasnya masyarakat awam,
akan berbeda pula religiusitasnya dengan orang yang berpendidikan menengah dan
juga kaum intelektual berkaitan dengan seberapa banyak pengetahuan yang
diterima.
5)
Faktor Stratifikasi Sosial
Stratifikasi
sosial yang berbeda antara petani, buruh, karyawan, pedagang menjadikan adanya
perbedaan pola religiusitas terkait dengan luas tidaknya jangkauan informasi
yang dapat diterima oleh masing-masing strata sosial tersebut.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi religiusitas ada
beberapa faktor yaitu: faktor obyektif, faktor subyektif, faktor psikologis,
faktor usia, faktor jenis kelamin, faktor pendidikan, dan faktor statifikasi
sosial.
2.4.5
Pendekatan Psikologi Sastra
Pengertian psikologi menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (1989:704)
adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental baik normal maupun abnormal dan
pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan
kegiatan-kegiatan jiwa. Bimo Walgito (1997:1) berpendapat bahwa psikologi
berasal dari kata Psyche yang artinya
jiwa dan kata logos yang berarti ilmu
pengetahuan, karena itu psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan
tentang jiwa dan ilmu jiwa. Abu Ahmadi (1999:1) menerangkan bahwa psikologi
artinya ilmu jiwa yang mempelajari tentang jiwa, baik bermacam-macam gejalanya,
prosesnya maupun latar belakangnya.
Pendekatan teori psikologi sastra
mempunyai empat kemungkinan pengertian yaitu, (1) adalah studi psikologi
pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2) adalah studi proses kreatif,
(3) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan
(4) mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi sastra), yang paling
berkaitan dengan bidang sastra adalah pengertian ketiga, sedangkan tiga
pengertian lainnya merupakan bagian dari psikologi seni (Wellek dan Warren,
1995:90).
Cara kerja psikologi sastra adalah
dengan menelaah sastra yang ditekankan pada psikologi yang ada pada sastra
tersebut. dalam kejadian ini adalah tingkah laku tokoh sebagai refleksi
jiwanya. Menurut Aminuddin (1990:89) psikologi sastra sebagai disiplin ilmu
ditopang oleh tiga pendekatan yaitu:
1) Pendekatan ekspresif yang mengkaji
aspek psikologi penulisan dalam proses kreatif yang terproyeksi lewat karya
ciptanya.
2) Pendekatan tekstual yang
melengkapi aspek psikologi sang tokoh dalam karya sastra.
3) Pendekatan reseptif pragmatik
yang melengkapi aspek pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan
karya sastra, yang dinikmati dalam proses rekreatif yang ditempuh dalam
menghayati teks sastra.
Antara
psikologi dan sastra mempunyai hubungan yang erat, dimana melalui pendekatan
psikologi sastra maka dapat diungkapkan gerak jiwa, konflik batin dalam karya
sastra tersebut secara lebih mendalam. Penerapan teori maupun hukum-hukum
psikologi pada karya sastra tentu didasarkan adanya aspek-aspek psikologis pada
karya satra tersebut, terutama mengenai kondisi jiwa tokoh-tokoh fiksi dengan
segala perilakunya sampai pada konflik-konflik batin yang ditimbulkan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Metode
penelitian merupakan sesuatu yang penting di dalam sebuah penelitian. Metode
dipandang sebagai pedoman atau petunjuk singkat yang berguna bagi peneliti.
Oleh karena itu penelitian ini fokus pada dimensi psikologis tokoh utama, maka
objek penelitian ini berfokus pada aspek-aspek psikologis, terutama yang
terkait dengan tokoh utama.
Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan, orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Taylor dalam Aminudin, 1990:14).
3.2
Jenis Penelitian
Dalam
mengkaji aspek religiusitas Serat
Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga ini, penulis menggunakan jenis
penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif yaitu mendiskripsikan
data-data yang berhasil dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka
(Moleong, 1989:7). Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa aspek
relegiusitas Serat Kidungan Kawedhar
karya Sunan Kalijaga.
3.3
Objek Penelitian
Semi (1993:32) mengatakan, bahwa apabila objek
penelitian tidak ada, maka tentu saja penelitian tidak akan pernah ada. Oleh
sebab itu, objek penelitian itu penting bahkan merupakan jiwa penelitian.
Adapun objek penelitian ini adalah aspek religiusitas dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan
Kalijaga kepercayaan diri tokoh utama atau pengarang dalam Serat Kidungan Kawedhar.
3.4
Data dan Sumber Data
Data dalam
penelitian kualitatif berwujud konsep-konsep, kategori-kategori yang bersifat
abstrak yang sukar diangkakan (Satoto, 1988:18). Data penelitian ini berupa
cuplikan-cuplikan yang berkaitan dengan aspek-aspek kepercayaan dari tokoh
utama yang terdapat dalam Serat Kidungan
Kawedhar karya Sunan Kalijaga. Sumber data dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber
data primer merupakan sumber data pelengkap yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu data-data bersumber dari buku-buku acuan yang berhubungan dengan
permasalahan yang menjadi objek penelitian.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber
data sekunder yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data penyelidik
untuk keperluan penelitian (Surachmad, 1990:103). Sumber data sekunder
penelitian ini adalah teks Serat Kidungan
Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka.
Teknik pustaka adalah teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk
memperoleh data (Subroto, 1992:42). Penulis menggunakan teknik simak dan catat,
maksudnya mengadakan penyimakan dan pencatatan terhadap data yang relevan yang
sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian (Subroto, 1992:42).
Langkah yang
dilakukan untuk mengungkap analisis data adalah dengan membaca keseluruhan Serat Kidungan Kawedhar. Memahami teks
serat secara intensif, menyeluruh, dan mendalam. Langkah ini adalah memahami
satuan pikiran yang diberikan dalam teks serat serta memahami hubungan antara
pokok pikiran yang satu dengan lainnya.
Langkah
berikutnya adalah menunjuk pada kata, kalimat, atau paragraf yang mengandung
religiusitas. Langkah ini menggunakan teknik pemahaman unsur intrinsik yaitu
memahami unsur-unsur yang membangun fiksi dari dalam. Unsur yang dimaksud
adalah penokohan, alur, plot dan latar. Unsur tersebut yang akan memberikan
gambaran tentang religiusitas, yang terkandung dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
Langkah
selanjutnya adalah mengklasifikasikan tingkat religiusitas dan nilai-nilai
religiusitas dalam Serat Kidungan
Kawedhar tersebut. Langkah terakhir dalam menganalisis adalah menarik
kesimpulan tingkat religiusitas dan nilai-nilai religiusitas yang terdapat
didalamnya. Guna mendukung data digunakan wawancara dengan para ahli mengenai
serat atau puisi Jawa menguasai masalah budaya Jawa.
5.6
Teknik Analisis Data
Teknik
analisis data ini digunakan metode penelitian kualitatif. Untuk menganalisis
unsur-unsur yang terkandung dalam Serat
Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga ditinjau dari segi psikologi sastra
yang berkaitan dengan aspek cinta kasih digunakan suatu model pembacaan secara
heuristik dan hermeneutik (Riffaterre dalam Imron, 1995:42-43). Pembacaan teks
sastra, pembacaan melakukan interpretasi secara representasial melalui tanda
linguistik. Dalam hal ini pembaca diharapkan mampu memberi arti terhadap
bentuk-bentuk linguistik yang mungkin saja gramatikal. Pembaca berasumsi bahwa
bahasa bersifat referensial, dalam arti bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal
yang nyata.
Model
analisis ini, ada tiga komponen yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi
data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyerdahanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Hasil wawancara dapat disusun menjadi
data yang dapat diabstrasikan tanpa mengurangi nilai-nilainya atau diperlukan
secara utuh. Hal yang penting di dalam reduksi data adalah analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu hingga
kesimpulan-kesimpilan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
b. Sajian Data
Setelah
dilakukan reduksi data maka alur kedua adalah penyajian data, dengan melihat
gambaran menyeluruh maka data yang dikumpulkan harus diusahakan dibuat suatu
bentuk matriks atau grafik untuk menghindari penenggelaman data yang telah
didapat. Menurut Sutopo (2002:89), menyatakan bahwa penyajian data merupakan
bagian dari suatu analisis.
c. Penarikan Kesimpulan atau
Verifikasi
Dari awal
pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang
ia temui dengan melakukan pencatatan peraturan, pola-pola, pernyataan,
konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi (Sutopo,
2002:93). Dalam penarikan kesimpulan (verifikasi) ini tidak terlepas dari
reduksi dan penyajian data dan melakukan diverifikasi selama penelitian
berlangsung untuk dapat memberi makna yang telah teruji kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bahasa,
Balai. 2006. Bausastra Jawa.
Yogyakarta: Kanisius.
Chodjim,
Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan
Kalijaga. Jakarta: Serambi.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Mistik Kejawen.
Yogyakarta: Narasi.
Imron,
Ali. 1995. Dimensi Keagamaan Novel
Keluarga Permana Karya Ramadhan KH. Thesis Pasca Sarjana UGM.
H.B.,
Sutopo. 1998. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Heriwijaya,
M. 2004. Islam Kejawen. Yogyakarta:
Gelombang Pasang.
Kalidjaga,
Kangdjeng Susuhunan. Kidungan Pepak
Djangkep. Surakarta: Muliya.: Yrama Widya.
Lexy,
Moleong J. 1990. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mangunsuwita.
2002. Kamus Bahasa Jawa. Bandung:
Yrama Widya.
Rosidi,
Ajip. 1776. Ensiklopedia Indonesia.
Jakarta: Ichtiar Baru.
Satoto, Soediro. 1995. Pengantar Pengkajian Drama. Surakarta:
UNS Press.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa.
Teeuw. A. 1984. Sastra dalam Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Wiryapanitra, R. 1979. Serat Kidungan Kawedhar. Jakarta:
Departemen P dan K.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar