Selasa, 01 Juli 2014

Bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa di TBRS Semarang



BAHASA PENGRAWIT NGESTI PANDAWA DI TAMAN BUDAYA RADEN SALEH KABUPATEN SEMARANG
Paper
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu: Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum.

Disusun oleh:
Sri Rahayu
2601411053
Rombel 2

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014



PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya karena penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, dan fasilitas yang diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih.
Penelitian Bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang ini merupakan sarana untuk mengenal lebih mendalam bahasa yang digunakan Pengrawit Ngesti Pandawa. Kupasan tentang berbagai wujud bahasa dilengkapi dengan kutipan-kutipan tuturan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mempermudah mengenal bahasa yang digunakan. Salah satu kunci sukses dalam menjalin komunikasi dengan pengrawit adalah dengan mengenal pengrawit itu sendiri. Pengrawit yang merupakan obyek penelitian merupakan anggota masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kejadian berbahasa yang ada di masyarakat. Sehingga, menimbulkan adanya variasi-variasi dalam berbahasa.
Penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat dan membantu dalam memperdalam pemahaman pembaca. Adanya kekurang jelasan dalam kupasan yang telah disajikan dalam penelitian ini, penulis mengharapkan memperoleh umpan balik berupa catatan, komentar, koreksi, maupun saran yang membangun sebagai bahan perbaikan. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih.
Semarang, Januari 2014

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa memiliki tugas untuk memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia dalam menghubungkan manusia satu dengan yang lain di dalam peristiwa sosial tertentu. Peran penting bahasa dalam kehidupan manusia disadari sebagai kebutuhan primer dalam masyarakat sosial. Untuk itu, bahasa dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi yang bagian dari masyarakat dan kebudayaannya (Suwito, 1991:3).
Bahasa sangat berperan untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran manusia dalam usahanya berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam konteks sosial eksistensi bahasa tidak dapat diabaikan begitu saja, karena bahasa manusia dapat mengungkapkan aspek-aspek sosial yang dijumpai dalam berinteraksi sosial dan interaksi sosial akan hidup berkat adanya aktivitas bicara pada manusia atau anggota pemakai bahasa (Pateda, 1992: 11).
Bahasa tidak lagi menjadi bagian untuk satu orang saja, karena bahasa telah menjadi bagian dari kegiatan masyarakat. Artinya, di dalam sebuah masyarakat pemilihan bahasa dipandang sebagai sebuah peristiwa sosial. Pilihan bahasa sebagai peristiwa sosial tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya. Pilihan bahasa erat kaitannya dengan situasi sosial masyarakat pemakainya, perbedaan usia, tingkat pendidikan, dan status sosial. Demikian pula situasi yang melatar belakangi sebuah pembicaraan dapat mempengaruhi bagaimana sebuah bahasa akan dipergunakan. Pengaruh faktor-faktor sosial maupun situasional terhadap pilihan bahasa ini menimbulkan adanya variasi-variasi pilihan bahasa (Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1991:28).
Menurut Structural lingua, bahasa yang sebagai alat komuniaksi sering kali diabaikan dan menganggap bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam berkomunikasi. Karena masyarakat itu terdiri dari individu-individu, masyarakat, secara keseluruhan dan individu yang saling mempengaruhi dan saling bergantung. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa, dan tingkah laku bahasa individual ini dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat bahasa yang lain.
Para linguis structural menganggap bahasa sebagai sekadar “bunyi yang bersistem”, tanpa melihat hubungan dengan produsen bahasa itu, yaitu masyarakat bahasa. Orang melihat hakikat bahasa bukan sekadar “bunyi”, melainkan juga wajah-wajah abstraknya. Fungsi sosial lain dari bahasa terlihat pada rumusan yang menganggap bahasa sebagai identitas penutur, baik secara individual maupun secara berkelompok.
Kajian sosiolinguistik tentang variasi atau ragam bahasa, sangat menarik dilakukan karena masyarakat budaya bahasa berbeda dengan masyarakat bahasa yang lain. Hal ini menimbulkan keunikan tersendiri, dan tidak pernah kering untuk diteliti. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat. Oleh karena itu, bagaimanapun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan (Chaer, 1995:4).
Pertemuan masyakat dari latar belakang kebahasaan yang berbeda di dalam suatu peristiwa tutur dapat memunculkan banyak variasi pemakaian bahasa yang unik, karena di dalamnya terlibat setidaknya dua bahasa yang berbeda dalam satu kesempatan (Koentjaraningrat, 2000:16).
Berdasarkan adanya perbedaan variasi bahasa tersebut dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi, maka wajarlah apabila para pemakai bahasa tidak selalu menggunakan satu variasi bahasa saja, melainkan banyak variasi bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sering tanpa disadari, para pemakai bahasa mengubah gaya bahasa yang dipakai bila berada dalam situasi tertentu.
Bahasa Jawa yang hidup selama ini tampil dengan tugas ganda atau terdapat pembeda karena luasnya wilayah pemakaian bahasa (Sudaryanto, 1991:3). Beragamnya susunan masyarakat Jawa dalam pilihan bahasa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, (1) latar (waktu), tempat, dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi.
Tingkat pendidikan masyarakat juga dapat mempengaruhi penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi akan menggunakan bahasa yang lebih baik, daripada yang tingkat pendidikannya rendah. Pada tingkat usia, yang tua menggunakan bahasa yang lebih halus daripada yang lebih tua. Tingkat sosial keluarga yang berbeda-beda dalam penggunaan bahasa juga menunjukkan perbedaan pula. Seperti yang terjadi pada kalangan pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang.
Dalam situasi keseharian, mereka berkomunikasi dengan sesama menggunakan tuturan-tuturan yang berkaitan dengan pembicaraan mereka yang membahas suatu hal tertentu. Tuturan-tuturan yang berupa kata maupun kalimat-kalimat dimaksudkan untuk menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan interaksi atau percakapan dan hal-hal yang masih berkaitan dengan proses percakapan antar pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang.
Berdasarkan uraian diatas, pembahasan dalam penelitian ini mengenai penggunaan bahasa pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang. Penggunaan bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi penulisan penelitian bahasa pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang dengan kajian sosiolinguistik.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah yang muncul adalah bagaimana wujud penggunaan bahasa pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang.
1.3  Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan mendeskripsikan wujud penggunaan bahasa pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang.
1.4  Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, yang pertama dari hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai wujud penggunaan bahasa pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang. Kedua, dengan penelitian ini dapat menambah ilmu dan wawasan pembaca, serta menambah khasanah budaya bangsa khususnya penggunaan bahasa Jawa.  Ketiga, penelitian ini bermanfaat untuk merangsang minat peneliti lain untuk menggali dan melestarikan bahasa Jawa.
            Secara praktis penelitian ini mempunyai beberapa manfaat yaitu: pembaca dapat memahami wujud penggunaan bahasa pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi acuan atau bahan ajar untuk meningkatkan ilmu serta menambah wawasan dan cakrawala baru bagi pembaca serta generasi penerus di masa mendatang, karena isinya relevan dengan kehidupan sekarang serta memberikan pencerahan yang mendalam kepada para pembacanya.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka
            Penelitian tentang bahasa dalam situasi multibahasa telah banyak dilakukan para ahli, tetapi masih menjadi isu yang menarik pada saat sekarang. Oleh karena itu, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut baik itu penelitian yang bersifat menguatkan, melengkapi, maupun yang sifatnya baru. Beberapa hasil penelitian terbaru yang berhubungan dengan topik penelitian ini, diantaranya penelitian yang dilakukan Ranu Sulistiyono (2009), Naurie Fakih (2010), dan Nita Fauzi Haryani (2010).
            Ranu Sulistiyono (2009) dalam skripsinya tentang Variasi Pemakaian Bahasa Jawa Masyarakat Nelayan di Pantai Widuri Kabupaten Pemalang menunjukkan bahwa variasi bahasa Jawa para nelayan yang berada di pesisir Pantai Widuri Kabupaten Pemalang adalah variasi tunggal bahasa, yaitu bahasa Jawa ngoko lugu, bahasa Jawa ngoko alus, dan bahasa Jawa krama lugu. Selain itu ditemukan juga adanya penggunaan alih kode dan campur kode bahasa. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi variasi bahasa Jawa adalah faktor kebiasaan, lingkungan tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan, fungsi interaksi, dan faktor partisipan. Masyarakat nelayan di Pantai Widuri juga memiliki karakteristik yang cenderung keras, kasar, dan kurang empati terhadap orang lain, memakai kosakata khusus, dan menggunakan partikel (ka).
            Naurie Fakih (2010) dalam skripsinya tentang Variasi Bahasa Pengemis di Komplek Masjid Menara Kudus Kajian Sosiopragmatik mengemukakan bahwa pengemis di Komplek Masjid Menara Kudus menggunakan variasi tunggal bahasa ngoko, madya, dan krama. Variasi bahasa berwujud alih kode, yaitu alih kode dari bahasa Jawa krama ke ngoko dan alih kode dari bahasa Jawa madya ke ngoko. Variasi bahasa berwujud campur kode, campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ngoko dan campur kode bahasa Jawa krama dalam bahasa Jawa ngoko. Dilihat dari segi jenis tindak tutur pengemis di Komplek Masjid Menara Kudus meliputi jenis tindak tutur direktif dan jenis tindak tutur ekspresif.
            Sedangkan Nita Fauzi Haryani (2010) dalam skripsinya tentang Variasi Bahasa Masyarakat Daerah Perbatasan Dialek Ngapak dan Bandhek di Kecamatan Kutowinangun Kabupaten Kebumen menjelaskan adanya variasi tunggal bahasa dialek Ngapak dan dialek Bandhenk, alih kode bahasa Indonesia ke dialek Ngapak dan Bandhek maupun sebaliknya, campur kode dialek Ngapak ke dialek Bandhek maupun sebaliknya.
            Relevansi dari tiga penelitian diatas dengan penelitian ini adalah pada objeknya. Ranu Sulistiyono mengambil objeknya pada nelayan yang berada di pesisir Pantai Widuri Kabupaten Pemalang. Naurie Fakih mengambil objeknya pada pengemis di Komplek Masjid Menara Kudus. Kemudian, Nita Fauzi Haryani mengambil objeknya di perbatasan dialek Ngapak dan Bandhek. Sedangkan, penelitian ini objeknya pada Pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang, sehingga lebih mengkhususkan pada bahasa yang digunakan pengrawit.
2.2 Landasan Teoretis
            Konsep-konsep yang digunakan di dalam membahas topik penelitian ini meliputi (1) perspektif sosiolinguistik, (2) masyarakat tutur, (3) pilihan bahasa, (4) variasi bahasa, (5) peristiwa tutur, (6) tingkat tutur bahasa Jawa, (7) alih kode, dan (8) campur kode.
2.2.1 Perspektif Sosiolinguistik
            Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai kajian tentang bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat.
Berbeda dengan sosiologi bahasa, yang merupakan cabang ilmu sosiologi yang mempelajari keadaan sosial yang berhubungan dengan keberadaan situasi kebahasaan di masyarakat. Kajian sosiolinguistik bersifat kualitatif sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian penggunaan bahasa  yang sebenarnya, sedangkan sosiologi bahasa berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang saling timbal balik dengan bahasa atau dialek.
Brams dan Dickey (dalam Rokhman, 2002), menyatakan bahwa sosiolinguistik menitikberatkan perhatiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di masyarakat, menjelaskan kemampuan manusia memainkan aturan berbahasa secara tepat dalam situasi yang beragam. Masalah yang dibicarakan dalam sosiolinguistik adalah: (1) identitas sosial dari penutur, siapakah penutur, apa kedudukannya di masyarakat, keluarga dan pranata sosial lain, identitas penutur mempengaruhi pilihan bahasanya seperti pilihan variasi bahasa tertentu terhadap situasi yang dihadapi, (2) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, dimanakah tempat peristiwa tutur terjadi apakah tempat umum yang ramai ataukah di ruangan tempat seseorang tengah beribadah, (3) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, pilihan dialek yang berhubungan dengan status sosial penggunanya, (4) penilaian sosial yang berbeda penutur dan perilaku bentuk ujaran, masyarakat akan menilai bentuk ujaran dan perilaku kebahasaan lain yang sesuai dan pantas dimiliki sehubungan dengan kedudukannya terhadap masyarakat lain, (5) tingkat dan ragam linguistik, sebagai akibat perubahan dan perkembangan yang terus terjadi di masyarakat maka bahasa turut berkembang ke dalam varian-varian yang disesuaikan dengan kebutuhan kebahasaan dalam masyarakat tertentu.


2.2.2 Masyarakat Tutur
            Masyarakat tutur diberi batasan oleh Fishman (dalam Chaer 2010:36) sebagai suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal suatu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang. Kata masyarakat itu kiranya digunakan sama dalam penggunaan “masyarakat desa”, “masyarakat kota”, “masyarakat Jawa Tengah”, “masyarakat Indonesia”, “masyarakat Arab”, dan yang hanya menyangkut sejumlah kecil orang seperti “masyarakat pendidikan” atau “masyarakat linguitik Indonesia”.
            Suwito (1985:20) menegaskan bahwa suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai masyarakat tutur apabila masyarakat tersebut memiliki verbal repertoire yang relatif sama dam mempunyai penilaian sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat itu. Adapun yang dimaksud dengan verbal repertoire adalah kemampuan yang sejajar dengan kemampuan komunikatif.
            Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Masyarakat tutur adalah istilah netral yang dapat dipergunakan untuk menyebut masyarakat yang luas dan besar. Dapat pula untuk menyebut masyarakat yang kecil atau sekelompok orang-orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dalam pemakaian bahasanya.
2.2.3 Pilihan Bahasa
            Sumarsono (2008:201) mengemukakan ada tiga jenis pilihan bahasa yang biasa dikenal dalam sosiolinguistik. Pertama apayang disebut alih kode. Kode adalah istilah netral yang mengacu pada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa. Misalnya si A mempunyai bahasa Balin sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua serta menguasai bahasa Inggris, dia dapat beralih kode dengan tiga bahasa itu. Bahasa mana yang dipilih tergantung pada banyak faktor, antara lain lawan bicara, topik, dan suasana.
            Jenis pilihan bahasa yang kedua adalah campur kode. Campur kode ini sama dengan interferensi dari bahasa yang satu kebahasa yang lain. Dalam campur kode ini penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur yang diambil dari “bahasa lain” itu sering kali berwujud kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata.
            Jenis pilihan bahasa yang ketiga adalah varias bahasa yang sama. Jenis pilihan bahasa ini sering menjadi fokus kajian tentang sikap bahasa. Dari ketiga jenis pilihan bahasa tersebut yang paling besar konsekuensinya adalah jenis pertama, karena jenis itulah yang dapat menimbulkan pergeseran dan kepunahan suatu bahasa.
2.2.4 Variasi Bahasa
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (dalam Chaer, 2010:61) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan.
Terjadinya keragaman bahasa bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Keragaman akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.
2.2.4.1 Variasi dari Segi Penutur
Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Dialek ini umumnya disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Contohnya: dialek Banyumas, dialek Pekalongan, dialek Semarang, dialek Surabaya. Bidang linguistik yang mempelajari dialek-dialek ini adalah dialektologi.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini. Perbedaan yang terjadi dapat dilihat dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
Variasi bahasa yang keempat adalah sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan bahasa prokem.
            Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek adalah bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.
            Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dipandang rendah. Contohnya bahasa yang digunakan para kuli tambang.
            Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan.
Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Faktor kerahasiaan ini yang menyebabkan pula kosakata yang digunakan dalam slang seringkali berubah. Dalam hal ini yang disebut prokem dapat dikategorikan sebagai slang.
Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan yang hal terpentingnya adalah konteks dalam pemakaiannya. Dalam perkembangan kemudian ungkapan-ungkapan kolokial ini sering juga digunakan dalam bahasa tulis.
Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.
Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot terletak pada kosakata. Umpamanya, dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet): barang dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’.
Ken (Inggris = cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti ungkapan “Sedekahnya, mbak. Saya sudah tiga hari belum makan. Kasihanilah saya.”
2.2.4.2 Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.
Variasi bahasa berdasrkan fungsi ini lazim disebut register. Register biasanya berkaitan dengan maslah dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.

2.2.4.3  Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa menjadi lima macam, yaitu:
Ragam beku (frozen) adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara resmi. Misalnya upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan.
Ragam resmi (formal) adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Dapat dikatakan ragam usaha ini adalah ragam bahasa yang paling operasional.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman akrab pada waktu beristirahat, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti anggota keluarga, atau antar teman yang sudah karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas.
2.2.4.4  Variasi dari Segi Sarana
Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu. Misalnya, dalam bertelepon atau bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini karena dalam bahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya (Chaer, 2010: 61-73).
2.2.5 Peristiwa Tutur
            Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2010:48).
            Dell Hymes (dalam Chaer, 2010:49) menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaiakan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wadhaugh 1990):
S          = Setting and scene (berkenaan dengan waktu, tempat, dan suasana)
P          = Participants (pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan)
E          = Ends: purpose and goal (merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan)
A         = Act sequences (mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran)
K         = Key: tone or spirit of act (mengacu pada nada, cara, dan semangat menyampaikan pesan)
I           = Instrumentalities (jalaur bahasa yang digunakan)
N         = Norms of interaction and interpretation (norma atau aturan dalam berinteraksi)
G         = Genres ( jenis bentuk penyampaian)

2.2.6 Tingkat Tutur Bahasa Jawa
            Tingkat tutur merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat tutur. Faktor penentunya adalah relasi antara si penutur dengan mitra tutur. Bentuk tingkat tutur secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk hormat dan bentuk biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua macam bentuk tingkat tutur tersebut ternyata bermacam-macam dan berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya (Rahardi, 2001:52-53).
            Bahasa Jawa juga mempunyai gejala-gejala khusus dalam sistem tingkat tuturnya. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi membawakan rasa kesopanan yang tinggi, ada tingkat tutur menengah yang membawakan rasa kesopanan yang sedang-sedang saja, dan ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi membawakan rasa kesopanan rendah. Jadi dalam bahasa Jawa terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, dan tingkat tutur krama (Rahardi, 2001:55-56).
2.2.6.1 Tingkat Tutur Ngoko
            Tingkat tutur ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (afiks di-, -e, dan - ake). Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicaranya (Sasangka, 2004:95).
2.2.6.2 Tingkat Tutur Krama
            Tingkat tutur krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicaranya.

2.2.7 Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Suwito 1991:80). Menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa (language depedency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Di dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks.
Tanda-tanda yang demikian dikemukakan oleh Kachru (1965 dalam Suwito 1991:80) disebut ciri-ciri unit-unit kontekstual (contextual units). Dengan adanya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa di dalam alih kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri secara eksklusif, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian, alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakakian dua bahasa atau lebih.
Hymes (dalam Chaer dan Agustina 1995:142) menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas, Hymes mengatakan “code switching has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech styles”
Adapun penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (dalam Chaer dan Agustina 1995:143), yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siap, kapan, dan dengan tujuan apa”. Secara umum, penyebab alih kode adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal, (5) perubahan topik pembicaraan.
Jadi,  alih kode merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain karena perubahan situasi yang mungkin terjadi antar bahasa, antarvarian (baik regional maupun sosial) antarregister, antarragam ataupun antargaya.
2.2.8 Campur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam masyarakat multilingual adalalah terjadinya campur kode (code-mixing). Ciri dari gejala campur kode adalah adanya unsur-unsur bahasa atau variasi-variasi yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai arti tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu campur kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersifat ke luar antara lain: (a) identifikasi peranan,(b) identifikasi ragam dan (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam misalnya seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
Jadi, campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dimana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sumber Data
            Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penyediaan data. Data adalah hasil pencatatan penelitian, baik berupa fakta maupun berupa angka yang dijadikan bahan    untuk menyusun suatu informasi (Arikunto, 1992: 91-92). Data penelitian ini mencakup dua macam data, yaitu (1) data primer dan (2) data sekunder. Data primer berupa penggalan-penggalan tuturan atau wacana tuturan pengrawit dalam interaksi percakapan. Sedangkan data sekunder berupa informasi atau keterangan tentang latar belakang sosial penutur.
            Penelitian ini dilakukan di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang pada bulan Desember dan Januari, khususnya ketika latihan karawitan. Tempat tersebut adalah tempat dimana pengrawit melakukan kewajibannya sebagai pengrawit. Alasan dipilihnya Pengrawit Ngesti Pandawa sebagai objek kajian adalah  adanya bahasa dalam berkomunikasi. Selain itu, di tempat tersebut merupakan pusat kebudayaan dan kesenian yang banyak dikunjungi.
3.2 Pemerolehan Data
            Peneliti dalam memperoleh data melalui teknik observasi, teknik sadap dan teknik cakap.
3.2.1 Teknik Observasi atau Pengamatan
            Observasi atau pengamatan digunakan untuk mengamati tuturan-tuturan peminta-minta secara langsung di lokasi penelitian. Pengamatan tersebut dilengkapi dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen yang selanjutnya dimasukkan dalam kartu data (Arikunto, 1992:234).
Peneliti dalam melakukan observasi dengan datang langsung ke tempat objek penelitian, kemudian peneliti mencatat apa saja hal-hal penting yang ada dalam pengamatan tersebut. langkah-langkah dalam melakukan observasi yaitu: mempersiapkan alat yang dibutuhkan, datang ke lokasi pengamatan, pengambilan data, dan menganalisis data.
3.2.1 Teknik Sadap
            Teknik sadap merupakan teknik dasar yang digunakan dalam metode simak. Metode simak merupakan metode yang digunakan dalam penyediaan data dengan cara melakukan penyimakan penggunaan bahasa (Mahsun, 2005:218). Teknik ini dilakukan dengan memvideo peristiwa tutur tersebut dan membuat catatan yang berupa informasi tambahan yang tidak diperoleh melalui kegiatan pemvideoan.
3.1.2 Teknik Cakap
            Teknik cakap adalah teknik pemerolehan data dengan cara melakukan percakapan dengan penutur sebagai narasumber (Mahsun, 2005:226). Teknik cakap ini menggunakan teknik lanjutan yaitu teknik pancing. Dalam hal ini, tentu saja percakapan itu dikenali oleh peneliti dan diarahkan sesuai dengan kepentingannya, yaitu memperoleh data sesuai dengan yang dikendaki atau diharapkan ada (Sudaryanto, 1993:138). Pelaksanaan teknik cakap juga dapat diikuti dengan teknik rekam dan catat. Hal ini dimaksudkan agar mudah dalam menganalisis data.




BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Wujud Bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang
            Taman Budaya Raden Saleh adalah tempat perkembangan kebudayaan dan kesenian, khususnya kebudayaan dan kesenian Jawa. Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang yang merupakan bagian dari komunitas seniman  tersebut menggunakan bahasa sesuai lingkungannya. Selain itu dipengaruhi pula usia, asal daerah, lawan tutur, dan tingkat pendidikan. Wujud bahasa pengrawit dapat dipaparkan sebagai berikut.
4.1.1 Tunggal Bahasa
            Variasi bahasa Jawa yang terjadi pada Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang dapat berwujud tunggal bahasa. Wujud tunggal bahasa yang terjadi meliputi bahasa Jawa ragam ngoko dan krama.
4.1.1.1 Bahasa Jawa Ragam Ngoko
            Bahasa Jawa ragam ngoko adalah ragam bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko. Ragam bahasa ngoko sendiri adalah tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang kadar kehalusannya paling rendah, meskipun demikian ragam ngoko menunjukkan keakraban antar penuturnya. Ragam inilah yang paling sering digunakan oleh pengrawit. Wujud bahasa Jawa ragam ngoko pada Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang dapat dilihat pada kutipan percakapan di bawah ini.
            PERCAKAPAN (1)
KONTEKS       : PERCAKAPAN ANTAR PENGRAWIT KETIKA MEMUJI PERTUNJUKAN ROMBEL 2 BSJ UNNES ANGKATAN 2011.
            Pengrawit 1     : “Aku wingi ora nyana, pentase apik banget.”
                                    (Aku tidak menyangka, pentasnya bagus sekali.)
            Pengrawit 2     : “Iya, wingi rata kabeh.”
                                    (Iya, kemaren rata semua)
            Pengrawit 1     : “Edan bocahe, elok-elok. Hahaha.”
                                    (Bocahnya gila, bagus-bagus. Hahaha.)
            Percakapan diatas merupakan percakapan antar pengrawit ketika memuji penampilan rombel 2 Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang pada pertengahan bulan Desember 2013. Bukti bahwa tuturan tersebut menggunakan tunggal bahasa Jawa ragam ngoko adalah adanya imbuhan –e pada kata pentase dan bocahe. Dua pengrawit tersebut menggunakan ragam ngoko karena sudah saling akrab. Ragam ngoko sendiri merupakan ragam bahasa Jawa yang paling dominan digunakan.
4.1.1.3 Bahasa Jawa Ragam Krama
Bahasa Jawa ragam krama adalah ragam bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk krama. Ragam bahasa krama sendiri adalah tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang kadar kehalusannya paling tinggi. Ragam ini digunakan oleh anak kepada orang tuanya, kepada murid kepada guru, seorang pembantu kepada majikan, dan sebagainya. Wujud bahasa Jawa ragam ngoko pada Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang dapat dilihat pada kutipan percakapan di bawah ini.
            PERCAKAPAN (2)
KONTEKS         : PERCAKAPAN ANTARA PENGRAWIT DAN PENGAMAT MUSIK KETIKA LATIHAN KARAWITAN AKAN DIMULAI.
Pengamat             : “ Sugeng siyang, Pak Sihanto. Sampun kempal sedaya, Pak?”
                        (Selamat Siang, Pak Sihanto. Sudah kumpul semua, Pak?)
Pengrawit        : “Sampun wonten, Pak. Mangga, mlebet mawon.”
                        (Sudah semua, Pak. Ayo, masuk saja.)
Pengamat        : “Nggih-nggih, matur nuwun.”
                        (Iya-iya, terima kasih.)
Pengrawit        : Sekecakaken rumiyin nggih, Pak.”
                        (Dinyamankan dahulu ya, Pak.)
Percakapan diatas merupakan antara pengrawit dan pengamat musik ketika si pengamat musik akan memulai mengamati latihan para pengrawit. Bukti bahwa tuturan tersebut menggunakan tunggal bahasa Jawa ragam krama adalah adanya imbuhan dipun-aken pada kata sekecakaken. Dua pengrawit tersebut menggunakan ragam krama karena untuk menghormati orang yang baru dikenal. Ragam krama sendiri merupakan ragam bahasa Jawa yang jarang digunakan.
4.1.2 Alih Kode
            Bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang dapat berupa alih kode. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa yang lain. Alih kode tersebut berupa alih kode dari bahasa Jawa ngoko ke dalam bahasa Jawa krama dan alih kode dari bahasa Jawa krama ke dalam bahasa Jawa ngoko.
4.1.2.1 Alih Kode dari Bahasa Jawa Ngoko ke dalam Bahasa Jawa Krama
Alih kode bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa ragam krama dapat ditunjukkan pada tuturan berikut.
PERCAKAPAN (3)
KONTEKS         : PERCAKAPAN ANTARA PENGRAWIT DAN DALANG KETIKA LATIHAN BERSAMA.
Pengrawit        : “Lha iki, adu, Mas! Tak tak dang tak. Lha, seeet, tubruk!”
                                    (Lha ini, adu, Mas! Tak tak dang tak. Lha, seeet, tubruk!)
Dalang             : “Iki mau iya wis ngene.”
                                    (Ini tadi juga begini.)
Pengrawit        : Lho, mboten no.
                                    (Lho, bukan ya.)
Percakapan diatas merupakan percakapan antara pengrawit dan dalang ketika si dalang latihan mendalang dengan pengrawit. Bukti bahwa tuturan tersebut menggunakan alih kode bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa krama adalah perubahan ragam pengrawit setelah melakukan percakapan menggunakan ragam ngoko. Buktinya terdapat pada tuturan Lho, mboten no.
4.1.2.2 Alih Kode dari Bahasa Jawa Krama ke dalam Bahasa Jawa Ngoko
            Alih kode bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko dapat ditunjukkan pada tuturan berikut.
PERCAKAPAN (4)
KONTEKS         : PERCAKAPAN PENGRAWIT DAN DALANG KETIKA PERTENGAHAN LATIHAN.
            Dalang             : “Lha niki conto napa? Bar iki terus apa?
Pengrawit          : “Lha niki taksih sekawan set ta, Mas? Bar niki kocapan, sampag riyin. Sampag, kondharan, kocapan, mangke kocapan tempuk gada.”
            Dalang             : “O, nggih-nggih.”
Percakapan diatas merupakan percakapan antara pengrawit dan dalang ketika si dalang merasa bingung gerakan selanjutnya. Bukti bahwa tuturan tersebut menggunakan alih kode bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Jawa ngoko adalah perubahan ragam dalang setelah melakukan percakapan menggunakan ragam krama. Buktinya terdapat pada tuturan Bar iki terus apa?
4.1.3 Campur Kode
            Selain tunggal bahasa dan alih kode, wujud bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang adalah campur kode. Campur kode adalah pencampuran kata, frase, ataupun klausa dari suatu bahasa ke bahasa lain yang digunakan. Berikut adalah campur kode Pengrawit Ngesti Pandawa Kabupaten Semarang.
4.1.3.1 Campur Kode Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa Ngoko
Campur kode bahasa yang berupa bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ngoko maksudnya adalah unsur bahasa Indonesia muncul pada tuturan bahasa Jawa ngoko. Hal tersebut berarti bahasa Jawa ragam ngoko memiliki fungsi keotonomian dalam tuturan, sedangkang bahasa Indonesia hanya berupa serpihan tanpa ada fungsi keotonomiannya. Campur kode bahasa yang berupa bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ngoko ditunjukkan sebagai berikut.
PERCAKAPAN (5)
KONTEKS            : PERCAKAPAN PEMIMPIN PENGRAWIT DENGAN PENGRAWIT LAINNYA KETIKA MEMULAI LATIHAN.
Pemimpin            : “Wis lengkap ta? Karawitan itu harus kompak, kalau sudah kompak yang penting dipahami rasa musik atau rasa gendhingnya. Syarat utama yang harus dilakukan adalah dengan menghafal notasi. Itu adalah tugas penabuh gamelan.
            Pengrawit 1     : “Pengrawit kok ora apal notasi. Hahaha.”
            Pengrawit 2     : “Hahaha. Ora apal ya bali.”
            Pemimpin        : “Wis, ayo. (sambil mengendang) ”
            Percakapan diatas merupakan percakapan antara pemimpin pengrawit dan pengrawit lainnya ketika akan memulai latihan. Bukti bahwa tuturan tersebut menggunakan campur kode bahasa yang berupa bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ngoko pada tuturan Karawitan itu harus kompak, kalau sudah kompak yang penting dipahami rasa musik atau rasa gendhingnya. Syarat utama yang harus dilakukan adalah dengan menghafal notasi. Itu adalah tugas penabuh gamelan. Hal tersebut terjadi karena dirasa lebih efektif dalam memberikan materi pengetahuan.
4.1.3.2 Campur Kode Bahasa Jawa Krama dalam Bahasa Jawa Ngoko
Campur kode bahasa yang berupa bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ngoko maksudnya adalah unsur bahasa Indonesia muncul pada tuturan bahasa Jawa ngoko. Hal tersebut berarti bahasa Jawa ragam ngoko memiliki fungsi keotonomian dalam tuturan, sedangkang bahasa Indonesia hanya berupa serpihan tanpa ada fungsi keotonomiannya. Campur kode bahasa yang berupa bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ngoko ditunjukkan sebagai berikut.
PERCAKAPAN (6)
KONTEKS       : PERCAKAPAN ANTAR PENGRAWIT KETIKA MEMASTIKAN JADWAL LATIHAN.
Pengrawit 1     : “Latian senin ta? Mulih ya.”
                        (Latihan senin kan? Pulang ya.)
Pengrawit 2       : Nggih, saged-saged. Eh, tapi aja bar bedug. Yen isa ya jam 11.”
                          (Ya bisa. Eh, tapi jangan habis bedug. Kalau bisa ya jam 11)
Pengrawit 1     : “Ya mengko gampang, bocah-bocah tak kandhanane.”
                        (Ya nanti gampang, anak-anak saya kabari)
Percakapan diatas merupakan percakapan antara pengrawit ketika akan memastikan jadwal latihan. Bukti bahwa tuturan tersebut menggunakan campur kode yang berupa bahasa krama dalam bahasa Jawa ngoko pada tuturan Nggih, saged-saged. Eh, tapi aja bar bedug. Yen isa ya jam 11. Dalam campur kode ini tuturan keotomian  hanya terjadi pada kata-kata yang pendek.
                       



BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang menggunakan bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan mitra tuturnya di saat mereka menjadi seorang pengrawit (seniman). Bahasa Jawa yang paling dominan digunakan adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Wujud bahasa yang telah ditemukan adalah (1) tunggal bahasa (bahasa Jawa ragam ngoko dan krama), (2) alih kode (bahasa Jawa ngoko ke krama dan bahasa Jawa krama ke ngoko), dan (3) campur kode (bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ngoko dan campur kode bahasa Jawa krama dalam bahasa Jawa ngoko).
5.2 Saran
            Penelitian bahasa Pengrawit Ngesti Pandawa di Taman Budaya Raden Saleh Kabupaten Semarang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan masukan bagi penelitian selanjutnya, khususnya penelitian tentang bahasa. Diharapkan pula kepada para pemakai bahasa khususnya pengrawit tetap mempunyai unggah-ungguh dan subasita terhadap orang lain.




DAFTAR PUSTAKA

Balai Bahasa. 2006. Bausastra Jawa. Yogyakarta: Kanisius.
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2000. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Fakih, Naurie. 2010. Variasi Bahasa Pengemis di Komplek Masjid Menara Kudus Kajian Sosiopragmatik. Skripsi. Jurusan Bahasa dan sastra Jawa UNNES, Semarang.
Haryani, Nita Fauzi. 2010. Variasi Bahasa Masyarakat Daerah Perbatasan Dialek Ngapak dan Bandhek di Kecamatan Kutowinangun Kabupaten Kebumen. Skripsi. Jurusan Bahasa dan sastra Jawa UNNES, Semarang.
H.B., Sutopo. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Lexy, Moleong J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moeliono, Anton M. 1985. Pengenbangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualiatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Pateda, Mansyur. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Sulistyono, Ranu. 2009. Variasi Pemakaian Bahasa Jawa Masyarakat Nelayan di Pantai Widuri Kabupaten Pemalang. Skripsi. Jurusan Bahasa dan sastra Jawa UNNES, Semarang.
Sumarsono dan Partana, Paina. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA Kauman.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset Solo.
Verhaar, J.W.M. 1982. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.




DATA NARASUMBER
  1. Nama                                       :  Sihanto
Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 3 Maret 1962
Umur                                       : 51 tahun
Jenis Kelamin                          : Laki-laki
Pekerjaan                                 : Seniman
 Pendidikan                             : SMA
Alamat                                      :Rusun Bandung Bandawasa blok J 1.4 Plamongansari, Pedurungan, Semarang

  1. Nama                                       :  Suraji Hadi Kusuma
Tempat/Tanggal Lahir : Klaten, 31 Desember 1950
Umur                                       : 63 tahun
Jenis Kelamin                          : Laki-laki
Pekerjaan                                 : Seniman
 Pendidikan                             : Sekolah Rakyat
Alamat                                    : Genuk Karang Lo, Kelurahan Tegal Sari

  1. Nama                                       :  H. Sugiyarto, SH
Tempat/Tanggal Lahir : Kendal, 1 Agustus 1963
Umur                                       :50 tahun
Jenis Kelamin                          : Laki-laki
Pekerjaan                                 : Pegawai Swasta, PNS, dan Seniman
 Pendidikan                             : Sarjana UNDARIS
Alamat                                    : Kedung Pane RT2/RW3, Mijen, Semarang

  1. Nama                                       :  Catur Raharja, S.Sn
Tempat/Tanggal Lahir : Demak, 22 Juli 1970
Umur                                       : 43 tahun
Jenis Kelamin                          : Laki-laki
Pekerjaan                                 : Pegawai Swasta dan seniman
 Pendidikan                             : Sarjana Seni STSI Surakarta
Alamat                                    : Kanguru Selatan 9 No. 20 Gayam Sari

  1. Nama                                       :  Supiyanto, S.Pd.
Tempat/Tanggal Lahir : Klaten, 30 Desember 1981
Umur                                       : 32 tahun
Jenis Kelamin                          : Laki-laki
Pekerjaan                                 : Guru dan seniman
 Pendidikan                             : S1 Musik Unnes
Alamat                                      : Kausen Reja RT3/RW4 Pungangan, Gunungpati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar