Kamis, 03 Juli 2014

Proposol: Nilai-Nilai Religius Serat Kidungan Kawedhar

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra piwulang dalam tradisi kesusastraan Jawa adalah teks berbahasa Jawa yang ditulis oleh raja atau pujangga istana untuk dijadikan dasar bagi pembentukan watak dan perilaku kerabat istana. Salah satu contoh sastra piwulang tersebut adalah Serat Kidungan Kawedhar, karena dalam Serat Kidungan Kawedhar terdapat ajaran-ajaran piwulang yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam pembahasan Serat Kidungan Kawedhar, tidak terlepas dari sebuah sejarah babad, yakni sejarah itu tentu berkaitan dengan proses Islamisasi di tanah Jawa, karena kidung tersebut sebagai salah satu media dakwah ketika itu dan juga sebagai doa mistis. Keberhasilan Islam pada penduduk Jawa adalah berkat kerja keras para mubaligh yang tangguh. Mereka adalah para wali yang terhimpun dalam suatu lembaga dakwah yang terkenal yaitu Wali Sanga. Proses pengIslaman pada masa itu terjadi secara damai karena metode yang digunakan oleh para wali dalam berdakwah menggunakan metode yang luwes, artinya dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan Buddhisme), namun secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur lama tersebut.
Wali Sanga dapat dengan lebih mudah memasukkan Islam karena agama tersebut dibawa dalam kemasan Jawa. Artinya masyarakat diberi pengetahuan yang berbentuk budaya Jawa namun isinya Islam. Banyak upaya dalam mengambil unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan nilai-nilai Islam yang dalam hal ini nilai-nilai religiusitas, misalnya seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan “Serat kidungan Kawedhar”. Salah satu wali yang sangat terkenal bagi orang Jawa adalah Sunan Kalijaga. Kemampuan dalam melakukan asimilasi, adaptasi dan akulturasi budaya Jawa dengan Islam, membawa dampak yang positif dalam tugasnya sebagai seorang mubaligh yang tanpa menggunakan kekerasan sama sekali.
Sunan Kalijaga adalah profil tokoh agama yang sekaligus budayawan yang kreatif, hampir seluruh hidupnya dipenuhi perjuangan untuk kepentingan umat. Salah satu usahanya dibidang kebudayaan adalah pelestarian wayang kulit, kerawitan, sastra Jawa dan adat tradisi. Bahkan tanpa terasa dengan wayang kulit, gending sekaten dan lagu Ilir-Ilir dapat dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam. Beliau juga menciptakan kidung wingit yang berfungsi sebagai tolak balak dari berbagai malapetaka dan makhluk halus. Kidung ini diberi nama Serat Kidungan Kawedhar.
Kidung dalam Ensiklopedi Indonesia diartikan sebagai karya sastra rakyat atau puisi dalam bahasa Jawa tengahan, berupa cerita romantikal seperti cerita pelipur lara. Berbentuk tembang yang dapat dinyanyikan. Serat Kidungan Kawedhar apabila diartikan secara keseluruhan adalah sebuah karya sastra atau puisi berbahasa Jawa tengahan yang berbentuk tembang dan dapat dinyanyikan yang berguna untuk menjaga atau merawat sesuatu. Kidung ini adalah kidung wingit (keramat), atau mantra atau doa yang disusun dengan berbahasa Jawa sebagai doa perlindungan, penyembuhan. Dari buku yang sudah dibaca, tidak ditemukan informasi yang menjelaskan kapan serat ini dibuat, namun Serat Kidungan Kawedhar ini ditulis setelah Sunan Kalijaga menjadi Wali Sanga.
Serat Kidungan Kawedhar ditulis oleh Sunan Kalijaga untuk menjembatani hal-hal yang bersifat supranatural. Karena pada tahun-tahun awal perkembangan Islam di Jawa bersifat sangat mistis yang pada dasarnya kepercayaan pra-Islam memandang tinggi animisme dan dinamisme. Kenyataan yang terjadi pada penyebaran Islam pada waktu itu banyak berbenturan pada orang-orang yang tidak kompromi dengan diplomasi sehingga menyerang balik apa-apa yang telah diajarkan oleh Sunan Kalijaga tentang ajaran Islam yaitu dengan Black Magic. Sehingga beliau menulis kidung wingit yang diberi nama Serat Kidungan Kawedhar yang di dalamnya memuat berbagai macam mantra untuk menolak balak di malam hari, seperti teluh, tenung, santet dan lain sebagainya.
Kidung ini merupakan sarana dakwah dalam bentuk tembang yang populer dan menjadi kidung wingit, karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti. Serat Kidungan Kawedhar merupakan sebuah karya sastra yang berbentuk tembang. Struktur Serat Kidungan Kawedhar yang berbentuk tembang terdapat aturan-aturan yang mengikat disebut metrum. Metrum memiliki pola tertentu yang bersifat tetap, aturan tersebut antara lain: guru gatra, pada, guru lagu, guru wilangan, pupuh, dan sasmita tembang. Guru gatra adalah jumlah baris dalam setiap bait, pada adalah bait yang menyusun tembang, guru lagu adalah berhentinya suara atau dong ding di akhir baris, guru wilangan adalah jumlah suku kata setiap baris, pupuh adalah susunan metrik dan ritme dalam tembang yang tertentu, dan sasmita tembang adalah kata yang menunjuk ciri dari suatu tembang yang telah ditetapkan.
Serat Kidungan Kawedhar yang berbentuk tembang macapat ini terdiri dari pupuh Dhandhanggula yang berisi empat puluh lima bait dan seolah-olah sampai saat ini abadi. Orang-orang pedesaan masih ada yang hafal dan mengamalkan syair kidung ini. Sebagai sarana dakwah kepada anak cucu, nasehat. Kidungan dalam bentuk tembang akan lebih langgeng dan awet dalam ingatan. Sepeninggal Sunan Kalijaga, kidung ini menjadi milik rakyat, siapapun yang membaca dan mengamalkan sebagai doa.
Karena kidung ini merupakan doa, dan dalam berdoa seseorang harus yakin apa bahasa yang digunakan itu yaitu dengan memahami apa yang diucapkan, tentu saja disertai keyakinan yang tinggi, serta mengerti makna doa yang digunakan. Maka di sinilah Sunan Kalijaga menciptakan doa mantra yang berbahasa Jawa. Karena dengan doa berbahasa Jawa akan mudah dihayati dan diyakini bila bahasanya dimengerti. Selain itu juga untuk mengantisipasi menghadapi jaman edan yang begitu menyengsarakan sendi-sendi kehidupan rakyat, hidup serba tidak menentu, semuanya serba sulit menentukan sikap, serta tidak ada fundamen keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang benar dan kokoh.
Makna dari kidung atau sabda suci yang dimaksudkan untuk menjaga diri di malam hari. Karena malam hari merupakan sumber berbagai macam kejahatan. Walaupun siang hari tidak jauh beda, namun malam hari lebih banyak lagi, karena malam hari kejahatan tidak dilakukan secara tidak terang-terangan. Pada bait pertama Serat Kidungan Kawedhar, berisi ajaran tentang perlindungan dari dari berbagai kejahatan yang bisa dilakukan di malam hari. Bukan hanya kejahatan dari hasil perbuatan jahat orang atau pencuri, tetapi juga kejahatan ghaib seperti sihir, teluh, tuju, santet dan sebagainya. Dengan melafalkan kidung ini, berbagai kejahatan malam tersebut akan menyingkir. Bukan diperangi, tetapi ditolak. Bukan disingkirkan, tetapi kejahatan itu sendiri yang menyingkir.
Inti laku pembacaan kidung adalah agar senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Serat Kidungan Kawedhar berfungsi sebagai penyembuh segala macam penyakit,  mempercepat jodoh bagi perawan tua, penolak bala yang datang di malam hari, sepeti teluh, santet, hama dan pencuri, menang dalam perang, memperlancar cita-cita luhur dan mulia. Semuanya itu harus didasari dengan keimanan, karena orang yang teguh kepercayaannya, kokoh itikatnya, matang tauhidnya, tidak akan terkena sihir atau tenung. Menyerahkan diri sepenuh hati akan segala nasibnya kepada Tuhan, di samping berusaha keras memenuhi segala syarat-syaratnya. Kecuali itu dia percaya dan yakin bahwa segalanya akan kembali kepada-Nya. Maka segala puja dan puji hanya teruntuk kepada-Nya.
Dari penjelasan Serat Kidungan Kawedhar diatas isi teks Serat Kidungan Kawedhar mengandung ajaran-ajaran religiusitas, oleh karena itu kajian dalam penelitian ini adalah religiusitas. Permasalahan yang diteliti adalah wujud ajaran dan nilai-nilai religiusitas dalam Serat Kidungan Kawedhar. Di dalam Serat Kidungan Kawedhar terdapat ajaran-ajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesempurnaan hidup. Isi teks Serat Kidungan Kawedhar tersebut bernafaskan oleh agama Islam, namun persoalan-persoalan yang muncul adalah masalah tentang religiusitas. Religiusitas berfungsi sebagai sarana pendukung, penyalur, dan acuan bagi segala perasaan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Religiusitas yang demikian juga dapat menyalurkan dan mengarahkan seluruh cinta dan keinginan manusia mewujudkan kesalehannya kepada Tuhan.
1.2 Rumusan Masalah
            Dalam penelitian karya sastra Serat Kidungan Kawedhar mengacu pada pembatasan masalah, yaitu:
1)      Bagaimana wujud ajaran religiusitas yang terdapat dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
2)      Nilai-nilai religiusitas apa sajakah yang terdapat dalam Serat Kidungan Kawedhar?
1.3 Tujuan Penelitian
            Setelah mengetahui rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu:
1)      Mengungkap wujud ajaran religiusitas yang terdapat dalam teks Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
2)      Mengetahui nilai-nilai religiusitas apa saja yang terdapat dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.

1.4 Manfaat Penelitian
            Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, yang pertama dari hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai ajaran-ajaran dan nilai-nilai. Kedua, dengan penelitian ini dapat menambah ilmu dan wawasan pembaca, serta menambah khasanah budaya bangsa khususnya pembendaharaan kata sastra Jawa.  Ketiga, penelitian ini bermanfaat untuk merangsang minat peneliti    lain untuk menggali dan melestarikan karya sastra Jawa.
            Secara praktis penelitian ini mempunyai beberapa manfaat yaitu: pembaca dapat memahami makna dan ajaran yang terkandung dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi acuan atau bahan ajar untuk meningkatkan ilmu serta menambah wawasan dan cakrawala baru bagi pembaca serta generasi penerus di masa mendatang karena isi kandungan Serat Kidungan Kawedhar relevan dengan kehidupan sekarang serta memberikan pencerahan yang mendalam kepada para pembacanya.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
            Penelitian-penelitian tentang religiusitas pernah dilakukan oleh mahasiswa, antara lain: Sekar Tresning Rahayuanti (2008) dengan judul Religiusitas dalam serat “Kalatidha” Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai religiusitas dalam Serat Kalatidha ditunjukkan adanya konsep bahwa manusia mengakui akan kekuasaan yang lebih tinggi daripada dirinya, yang sering disebut sebagai Sang Khalik, Yang Maha Kuasa sebagai sumber kekuatan yang mengatasi manusia.
Peneliti Sri Winarsih (2008) dengan judul Religiositas dalam Kumpulan Crita Cekak Senthir Karya Suwardi Endraswara. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada analisis tingkat pengalaman religius pengarang berada pada tingkat niveau human, karena tingkatan ini yang paling dominan dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir. Analisis tingkat kedewasaan religius pengarang berada pada tingkat thought (penghayatan dan pemahaman) karena tingkat ini paling dominan dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir, kumpulan Crita Cerkak Senthir ini merupakan catatan pengarang dalam pencarian Tuhan. pengarang dalam hal ini menunjukkan bahwa pengarang sudah menghayati keimanannya. Nilai-nilai religius dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir dominan pada nilai religius hubungan manusia dengan sesama manusia yang terdapat pada enam crita cerkak dari dua belas crita cerkak yang dianalisis, hubungan manusia dengan Tuhan terdapat pada tiga crita cerkak, hubungan manusia dengan diri sendiri terdapat pada lima crita cerkak. Nilai religius hubungan manusia dengan alam sekitar peneliti tidak menemukan dalam kumpulan Crita Cerkak Senthir karya Suwardi Endraswara.
            Penelitian yang lain Prihartini (1997) dengan judul Religiositas dalam Novel Nyali Karya Putu Wijaya dan Alternatif Pengajaran di SMU. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas yang nampak dan muncul ketika manusia berada dalam jurang kehancuran dimana manusia merasakan ketenangan batin. Saat itulah manusia meyakini bahwa Tuhan itu ada dan segala kebesaran dan kekuasaan-Nya, sehingga semakin teballah keimanan seseorang. Hasil analisis tersebut juga menyebutkan bahwa novel Nyali dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pengajaran sastra di SMA.
            Penelitian-penelitian tentang religiusitas tersebut merupakan dasar dari penelitian yang akan dikaji peneliti. Penelitian Sekar Tresning Rahayuanti (2008) isinya adalah membahas tentang masalah religiusitas yang ada didalam Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Penelitian Sri Winarsih (2008) membahas tentang masalah religiusitas yang ada di dalam Crita Cekak Senthir Karya Suwardi Endraswara. Sedangkan penelitian Prihartini (1997) isinya membahas tentang religiusitas dalam Novel Nyali karya Putu Wijaya dan alternatif pengajaran di SMA.


2.2 Pengertian Karya Sastra
Karya sastra mempersoalkan mengenai masalah sosial, artinya segala sesuatu yang mengenai masyarakat, berbeda dengan ilmu yang menitikberatkan kajian terhadap masalah-masalah masyarakat yang disebut sosiologis. Karya sastra juga menyajikan hubungan dan pengaruh timbal balik antar aneka macam gejala sosial, misalnya antar gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerakan masyarakat dengan politik, dan sebagainya (Sorokin dan Soekanto dalam Imron, 1995:159). Ilmu sosiologi pada dasarnya mempelajari kesatuan hidup manusia yang terbentuk antara satu dengan lainnya, antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok (Susanto dalam Imron, 1995:159).
Sastra merupakan bagian daripada kebudayaan. Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu erat karena kebudayaan itu sendiri. Menurut pandangan antropologi, kebudayaan adalah hasil karya manusia atau masyarakat yang mengadakan sistem nilai berupa aturan untuk menentukan suatu benda atau perbuatan yang tinggi nilainya, dikehendaki dari yang lain (Semi, 1989:54).
Di dalam lingkungan kehidupan masyarakat suatu bangsa terdapat acuan perilaku yang menjadi landasan setiap manusia dalam berbuat. Acuan perilaku ini disebut kebudayaan. Kebudayaan berarti (1) suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan yakni sistem makna yang bersifat kognitif dan sistem nilai yang bersifat normatif, (2) suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat (sistem sosial), ataupun (3) benda-benda hsil karya manusia atau kebudayaan fiksi (Koentjaraningrat, 1986:186-187).
2.3 Teori Apresiasi Puisi (Tembang Jawa)
            Tembang Jawa didokumentasikan dalam bentuk naskah. Naskah sendiri menurut Baried, dkk (1994:55) adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah (handscrif dengan singkatan hs untuk tunggal, hss untuk jamak; manuscript dengan singkatan ms untuk tunggal, mss untuk jamak). Tidak jauh berbeda Dipodjodjo (1996:7) menerangkan bahwa naskah adalah segala tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan cipta, rasa, dan karsa manusia yang hasilnya disebut karya sastra, baik yang tergolong dalam arti umum maupun dalam arti khusus yang semuanya merupakan rekaman pengetahuan masa lampau bangsa pemilik naskah itu.
            Suatu naskah manuskrip (bahasa Latin manuscript: manu scriptus ditulis tangan), secara khusus adalah semua dokumen tertulis yang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan cara lain. Kata naskah diambil dari bahasa Arab nuskhatum yang berarti sebuah potongan kertas. Jadi naskah adalah semua tulisan tangan yang mengandung atau menyimpan suatu ungkapan pikiran dan perasaan penulis naskah yang merupakan hasil budaya masa lampau yang biasanya berupa teks.
Salah satu teori sastra yang dapat dipakai untuk mendukung meneliti karya satra adalah pendekatan  psikologi sastra. Psikologi sastra bertujuan untuk menemukan suatu nilai kehidupan yang berguna bagi peneliti ataupun masyarakat luas, sebab nilai-nilai itu dapat dikaji dari perilaku tokoh karya sastra itu. Padahal tokoh adalah gambaran dari kehidupan manusia menurut ide pengarang. Dalam hubungan ini, identik dengan karangka yang disajikan oleh pengarangnya terhadap kehidupan ini.
            Analisa terhadap karya sastra dilakukan melalui interpretasi oleh pembaca ataupun penikmatnya. Resepsi sastra, dimaksudkan bagaimana pembaca itu memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadap karya sastra itu. Tanggapan itu bermacam-macam sifatnya, yaitu bagaimana orang membaca atau meneliti karya sastra serta meneliti nilai-nilai yang didapatkan dari karya sastra itu.
            Pembaca sastra dapat mengkaji nilai estetika karya sastra melalui ektifitas pembaca, sebab dasar dari aktifitas itu karena adanya suatu anggapan bahwa karya sastra itu memiliki nilai etika kehidupan, karena adanya pemikiran yang dituangkan pengarang dari refleksinya terhadap tingkah laku masyarakatnya. Sekaligus karya sastra itu menyimpan konsepsi keindahan dan menanamkannya kedalam perasaan pembacanya.
            Adanya perbedaan antara yang disajikan pengarang dalam karya sastra dengan interpretasi pembacanya, karena latar belakang pendidikan dan cerita budaya pembacanya tidak menutup penelitian karya sastra. Bahkan membuka keluasan orientasi pemahaman terhadap sikap tokoh misalnya, pemahaman terhadap simbol dari manusia nyata. Fungsi estetika dalam karya sastra, bukar sekedar kualitas seni secara objektif, tetapi tergantung kepada aktifitas pembacanya. Menurut pandangan ini, kenyataan sastra dibentuk melalui transformasi oleh pembacanya menjadi arti estetika (Teeuw, 1985: 358).
2.4 Pengertian Religiusitas
            Kata religi berasal dari bahasa latin, religere, artinya memelihara diri, mengikat jadi satu. Budiharjo (1991: 24) mengatakan bahwa religi adalah suatu sistem kepercayaan yang memudahkan manusia menghubungkan dirinya dan mengerti alam semesta dengan sesuatu yang ada di luar kekuasaan ilmu pengetahuan.
Ismail (1996: 19), kata religi (Belanda) dan religion (Inggris) berasal dari bahasa latin religere, sebagai induk kedua bahasa ini yang berarti melakukan perbuatan dan penuh penderitaan yaitu sejenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap.
Menurut Drijarkara (2000: 9) religi berasal dari bahasa latin religio, akar katanya religare yang berarti mengikat. Hal tersebut berarti bahwa religi merupakan kewajiban atau aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri individu atau sekelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya. Religi senantiasa berhubungan dengan realitas yang bersifat rohaniyah yang mungkin dibayari sebagai suatu kekuatan tunggal menyalurkan dan mengarahkan seluruh cinta dan keinginan manusia untuk berpartisipasi terhadap Tuhan.
Mangunwijaya (1988: 31) membedakan istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Religi (agama) menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan atau keyakinan-keyakinan. Sedangkan religiusitas menunjuk aspek religi yang telah dihayati oleh individu diddalam hati. Anshari (1986: 27) mengartikan religi, agama atau diin sebagai suatu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas dasar sesuatu yang mutlak di luar diri manusia dan merupakan suatu sistem rius (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggap mutlak, serta suatu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan atau alam.
Dister (1997:38) mengatakan religiusitas adalah suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia dan hanya kepada-Nya manusia merasa tergantung serta berserah diri. Semakin seseorang mengakui adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya maka semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Sedangkan menurut Atar Semi (1991: 41) pengertian religiusitas meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan yang teroganisir dalam sistem mental dan kepribadian. Orang yang taat beragama atau religi berarti menyerahkan diri, tunduk dan taat. Akan tetapi dengan tunduk, taat dan menyerahkan diri itu manusia tidak merasa celaka, seperti orang yang dipaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dikalahkan, tetapi keikatan dan ketaatan itu dialami dan dirasakan sebagai sesuatu yang menyangkut dan membahagiakan (Drijarkara, 1978: 22).
Menurut Masruri dkk (1989: 34) untuk mengetahui religiusitas seseorang bukanlah hal yang mudah karena harus mengungkap mulai dari keyakinan sampai perbuatannya. Di samping itu juga terbentur adanya ajaran tiap-tiap agama, oleh sebab itu dalam penelitian ini religiusitas hanya dipandang dari sudut pandang agama Islam saja karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.
Religi dapat berfungsi sebagai sarana pendukung, penyalur dan acuan bagi segala perasaan dan hubungan manusia dengan  Tuhan. Religi yang demikian dapat menyalurkan dan mengarahkan seluruh cinta dan keinginan manusia untuk berpartisipasi kepada Tuhan.
Agama sendiri terdiri atas tiga pengertian yaitu keyakinan tentang Tuhan, peribadatan sebagai konsekuensinya tentang adanya Tuhan dan norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungan. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa orang yang religius adalah orang yang yakin tentang adanya Tuhan. Selain itu segala tindakannya baik yang berkaitan dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan selalu mengacu dan tunduk pada nilai-nilai agama.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka secara definitif dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah sikap batin manusia yang merasa disentuh oleh kehadiran Tuhan dan diwujudkan dengan ketaatan terhadap agama yang meliputi adanya keyakinan terhadap Tuhan, peribadatan dan norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan.
2.4.1 Dimensi Religiusitas
            Glock dan Strak (dalam Suroso, 2001:24) membagi dimensi-dimensi religiusitas sebagai berikut:


1) Dimensi Keyakinan (ideological)
       Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan taat, misal adanya Tuhan, Malaikat, Surga, Neraka serta Qodho dan Qadhar.
2) Dimensi Praktek Agama (ritualistic)
       Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dengan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianut, mencakup ritual dan ketaatannya, misal dengan sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah kurban.
3) Dimensi Penghayatan (experimental)
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan faktor bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meskipun tidak tepat jika dikaitkan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan akhir, misal: merasa dekat dengan Tuhan, takut akan dosa, merasa doanya terkabul, dan diselamatkan Tuhan.
4) Dimensi Pengetahuan Agama (intellectual)
       Dimensi ini mengacu kepada harapan-harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab-kitab suci dan hadist-hadist. Misal: hukum-hukum Islam, sejarah Islam, dan isi kandungan Al-Qur’an.
5) Dimensi Pengalaman (consequential)
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan praktek atau pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari atau sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya. Misal: suka menolong, bekerjasama, dan berderma.
            Masrum (1989) menyatakan bahwa religiusitas yang ditinjau dari agama Islam mengungkap 5 (lima) aspek yang mencakup religiusitas, yaitu:
1) Aspek iman, menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, Malaikat, Nabi, Kitab Suci, hari kiamat, takdir baik, dan takdir buruk.
2) Aspek Islam, menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan. Misalnya sholat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu.
3) Aspek ihsan, menyangkut pengalaman dan perasaan tentangkehadiran Tuhan, takut melanggar larangan-Nya.
4) Aspek ilmu, menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya. Misalnya fiqih, tauhid, sejarah, riwayat nabi.
5) Aspek amal, menyangkut tingkah laku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya: membela orang yang lemah, bekerja, dan sebagainya.
Dari urian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek religiusitas ada lima yaitu dimensi keyakinan (ideological) sejajar dengan aspek iman, dimensi Praktek agama (ritualistic) sejajar dengan aspek Islam, dimensi penghayatan (experimental) sejajar dengan aspek ihsan, dimensi pengetahuan agama (intellectual) sejajar dengan aspek ilmu dan dimensi pengalaman (consequential) sejajar dengan aspek amal.
2.4.2 Nilai-Nilai Religiusitas dalam Karya Sastra
            Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu yang dapat dijadikan dasar penentu tindakan seseorang karena sesuatu atau hal itu menyenangkan, memuaskan, menarik, menguntung, menguntungkan dan merupakan suatu sistem keyakinan nilai yang sifatnya sama dengan ide, maka hal itu bersifat abstrak. Nilai tidak dapat ditangkap dengan panca indera, karena yang dapat dilihat adalah obyek atau tingkah laku yang mempunyai nilai. Nilai mengandung harapan dan dipandang sebagai konsepsi abstrak dari diri manusia dalam baik buruknya. Nilai-nilai ini tumbuh sebagai hasil pengalaman manusia dalam proses interaksi sosial (Muchricanah, 2004:11).
            Nilai dalam Purwodarminto diartikan sebagai (1) harga kepandaian; (2) harga satuan, misalnya uang; (3) anagka kepandaian; (4) kadar, mutu; (5) sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Menurut Suyitno, nilai merupakan suatu yang kita alami sebagai ajakan dari panggilan untuk dihadapi. Nilai mengarahkan perhatian serta minat kita, menarik kita keluar dari kita sendiri kearah apa yang bernilai. Nilai berseru pada tingkah laku dan membangkitkan keaktifan (Suyitno dalam Sugito, 2005:71).
Nilai-nilai religius dalam karya sastra menurut Pradopo (1994:10) dapat digolongkan menjadi 4 macam yaitu:

1) Hubungan manusia dengan Tuhan
Yaitu adanya hubungan secara vertikal antara manusia dengan Tuhan dalam melaksanakan segala apa yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya, agar tidak memberi kesan pengotakan agama pengarang, sehingga yang ditelaah adalah perasaan keagamaan dalam karya sastra itu sendiri.
2) Hubungan manusia dengan manusia
Yaitu adanya hubungan secara horizontal antara manusia dengan manusia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, dimana manusiadapat saling dihargai, dihormati, dan saling tolong-menolong.
3) Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Yaitu adanya hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri dalam melaksanakan segala apa yang menjadi kebutuhannya demi mencapai tujuan hidupnya, sehingga mereka harus bekerja keras dan tidak putus asa.
4) Hubungan manusia dengan alam lingkungan sekitar
Yaitu adanya hubungan antara manusia dengan alam, kaitannya dengan manusia dapat melestarikan dan menjaga lingkungan alam sekitar.
            Karya sastra yang bernilai religius memandang nilai moral religius secara universal, menempatkan nilai moral religius dalam kesusastraan dalam arti yang sesungguhnya (Atmosuwito, 1999:126). Karya sastra yang bernilai religius merupakan sikap yang kreatif yang amat diperlukan yang membawa pembaca pada nilai-nilai yang baik menuju kearah modernisasi seluruh masyarakat. Nilai religius berfungsi sebagai pegangan manusia dan arahan hidupnya, jadi antara sastra dan religiusitas terdapat suatu hubungan.
2.4.3 Tingkat Kedewasaan Religiusitas
            Kata “kedewasaan” mempunyai arti bahwa sesuatu yang pernah dialami seseorang lebih dari sekali sehingga keadaan tersebut sangat merasuk kedalam jiwanya. Tingkat kedewasaan religiusitas dalam hal ini adalah religiusitas yang telah merasuk ke dalam jiwa seseorang karena ia telah mengalami beberapa kali dan ia mampu menghayati.
            Menurut Iqbal (dalam Cremes, 1995:40) kedewasaan religiusitas seseorang dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan yaitu:
1) Tingkat Faith
Yaitu penerimaannya secara taat, tanpa syarat pada segala yang diperintahkan. Istilah umumnya disebut iman, kepercayaan atau penyerahan. Iman atau kepercayaan ini mengikutsertakan segala bakat manusia termasuk akal dan rasionalnya.
2) Tingkat Through
Yaitu tingkat penghayatan religiusitas yang lebih mendalam, dalam artian manusia tidak hanya menerima begitu saja, melainkan juga memperhatikan sisi lainnya yaitu penghayatan. Manusia dalam hal ini tidak hanya menerima dan menjalankan anjuran religi tetapisudah sampai pada tingkatan penghayatan dan pemahaman.
3) Tingkat Mistik
Mistik disini bukan berbentuk mestikisme atau mistik tahayul yang pada dasarnya menunjuk pada pengingkaran atau peleraian dari kehidupan nyata, melainkan pendewasaan yang lebih menuju kedalam pencapaian kepribadian yang merdeka, bukan karena pelepasan diri dari ikatan hukum (agama) melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum di dalam hati nuraninya, dalam tingkatan ini manusia benar-benar menyatu dengan Tuhan.
2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
            Arifin (1997:26) mengutarakan ada 2 faktor yang mempengaruhi religiusitas dalam diri seseorang yaitu:
1) Faktor  Obyektif
Yaitu seseorang beragama lantaran menaati segala sesuatu yang telah ditetapkan Tuhan. jadi keyakinannya tumbuh dan menguat karena faktor luar, yakni adanya petunjuk-petunjuk Tuhan yang berupa kitab suci. Dengan demikian kebenaran yang dihayati bersifat obyektif.
2) Faktor Subyektif
Yaitu keyakinan yang ada dalam diri seseorang berasal dari dalam dirinya. Kemudian keyakinan itu diolah dan dikembangkan dari dalam dirinya, dikonsepsikan berdasarkan apa yang telah dipelajari melalui kitab suci, selanjutnya menjadi pasangan yang dapat beramal. Aspek ini tidak bisa lepas dari aspek obyektif, demikian pula sebaliknya. Kedua aspek ini saling terkait dan mempengaruhi.
            Jalaludin dan Ramayulis (1987:41) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas seseorang berdasarkan analisis psikososial yaitu:
1) Faktor Psikologis
Dalam hal ini kepribadian dan kondisi mental akan mempengaruhi religiusitas seseorang. Kepribadian dan kondisi mental yang stabil menjadikan keyakinan seseorang akan petunjuk-petunjuk dari tuhan dapat tertanam kuat pada dirinya.
2) Faktor Usia
Usia seseorang dapat mempengaruhi religiusitas karena berkaitan dengan seseorang. Religiusitas pada usia, mengingat karakteristik pada masing-masing usia berbeda.
3) Faktor Jenis Kelamin
Meskipun menurut hukum laki-laki dan wanita itu sama pada beberapa hukum yang secara khusus diperuntukkan bagi laki-laki, wanita dan juga keduanya. Hal ini membawa konsekuensi adanya perbedaan religiusitas pada diri laki-laki dan wanita dalam menyikapi hukum-hukum agama yang ada, terkait dengan perbedaan pemahaman akan hukum-hukum tersebut.
4) Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat religiusitasnya masyarakat awam, akan berbeda pula religiusitasnya dengan orang yang berpendidikan menengah dan juga kaum intelektual berkaitan dengan seberapa banyak pengetahuan yang diterima.
5) Faktor Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial yang berbeda antara petani, buruh, karyawan, pedagang menjadikan adanya perbedaan pola religiusitas terkait dengan luas tidaknya jangkauan informasi yang dapat diterima oleh masing-masing strata sosial tersebut.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi religiusitas ada beberapa faktor yaitu: faktor obyektif, faktor subyektif, faktor psikologis, faktor usia, faktor jenis kelamin, faktor pendidikan, dan faktor statifikasi sosial.
2.4.5 Pendekatan Psikologi Sastra
            Pengertian psikologi menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (1989:704) adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa. Bimo Walgito (1997:1) berpendapat bahwa psikologi berasal dari kata Psyche yang artinya jiwa dan kata logos yang berarti ilmu pengetahuan, karena itu psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa dan ilmu jiwa. Abu Ahmadi (1999:1) menerangkan bahwa psikologi artinya ilmu jiwa yang mempelajari tentang jiwa, baik bermacam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.
            Pendekatan teori psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian yaitu, (1) adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2) adalah studi proses kreatif, (3) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi sastra), yang paling berkaitan dengan bidang sastra adalah pengertian ketiga, sedangkan tiga pengertian lainnya merupakan bagian dari psikologi seni (Wellek dan Warren, 1995:90).
            Cara kerja psikologi sastra adalah dengan menelaah sastra yang ditekankan pada psikologi yang ada pada sastra tersebut. dalam kejadian ini adalah tingkah laku tokoh sebagai refleksi jiwanya. Menurut Aminuddin (1990:89) psikologi sastra sebagai disiplin ilmu ditopang oleh tiga pendekatan yaitu:
1) Pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologi penulisan dalam proses kreatif yang terproyeksi lewat karya ciptanya.
2) Pendekatan tekstual yang melengkapi aspek psikologi sang tokoh dalam karya sastra.
3) Pendekatan reseptif pragmatik yang melengkapi aspek pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya sastra, yang dinikmati dalam proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra.
Antara psikologi dan sastra mempunyai hubungan yang erat, dimana melalui pendekatan psikologi sastra maka dapat diungkapkan gerak jiwa, konflik batin dalam karya sastra tersebut secara lebih mendalam. Penerapan teori maupun hukum-hukum psikologi pada karya sastra tentu didasarkan adanya aspek-aspek psikologis pada karya satra tersebut, terutama mengenai kondisi jiwa tokoh-tokoh fiksi dengan segala perilakunya sampai pada konflik-konflik batin yang ditimbulkan.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian
            Metode penelitian merupakan sesuatu yang penting di dalam sebuah penelitian. Metode dipandang sebagai pedoman atau petunjuk singkat yang berguna bagi peneliti. Oleh karena itu penelitian ini fokus pada dimensi psikologis tokoh utama, maka objek penelitian ini berfokus pada aspek-aspek psikologis, terutama yang terkait dengan tokoh utama.
            Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Taylor dalam Aminudin, 1990:14).
3.2 Jenis Penelitian
            Dalam mengkaji aspek religiusitas Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif yaitu mendiskripsikan data-data yang berhasil dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka (Moleong, 1989:7). Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa aspek relegiusitas Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
3.3 Objek Penelitian
             Semi (1993:32) mengatakan, bahwa apabila objek penelitian tidak ada, maka tentu saja penelitian tidak akan pernah ada. Oleh sebab itu, objek penelitian itu penting bahkan merupakan jiwa penelitian. Adapun objek penelitian ini adalah aspek religiusitas dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga kepercayaan diri tokoh utama atau pengarang dalam Serat Kidungan Kawedhar.
3.4 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian kualitatif berwujud konsep-konsep, kategori-kategori yang bersifat abstrak yang sukar diangkakan (Satoto, 1988:18). Data penelitian ini berupa cuplikan-cuplikan yang berkaitan dengan aspek-aspek kepercayaan dari tokoh utama yang terdapat dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga. Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Sumber Data Primer
            Sumber data primer merupakan sumber data pelengkap yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data-data bersumber dari buku-buku acuan yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.
b. Sumber Data Sekunder
            Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data penyelidik untuk keperluan penelitian (Surachmad, 1990:103). Sumber data sekunder penelitian ini adalah teks Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
3.5  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik pustaka adalah teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data (Subroto, 1992:42). Penulis menggunakan teknik simak dan catat, maksudnya mengadakan penyimakan dan pencatatan terhadap data yang relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian (Subroto, 1992:42).
Langkah yang dilakukan untuk mengungkap analisis data adalah dengan membaca keseluruhan Serat Kidungan Kawedhar. Memahami teks serat secara intensif, menyeluruh, dan mendalam. Langkah ini adalah memahami satuan pikiran yang diberikan dalam teks serat serta memahami hubungan antara pokok pikiran yang satu dengan lainnya.
Langkah berikutnya adalah menunjuk pada kata, kalimat, atau paragraf yang mengandung religiusitas. Langkah ini menggunakan teknik pemahaman unsur intrinsik yaitu memahami unsur-unsur yang membangun fiksi dari dalam. Unsur yang dimaksud adalah penokohan, alur, plot dan latar. Unsur tersebut yang akan memberikan gambaran tentang religiusitas, yang terkandung dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga.
Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan tingkat religiusitas dan nilai-nilai religiusitas dalam Serat Kidungan Kawedhar tersebut. Langkah terakhir dalam menganalisis adalah menarik kesimpulan tingkat religiusitas dan nilai-nilai religiusitas yang terdapat didalamnya. Guna mendukung data digunakan wawancara dengan para ahli mengenai serat atau puisi Jawa menguasai masalah budaya Jawa.
5.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data ini digunakan metode penelitian kualitatif. Untuk menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam Serat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga ditinjau dari segi psikologi sastra yang berkaitan dengan aspek cinta kasih digunakan suatu model pembacaan secara heuristik dan hermeneutik (Riffaterre dalam Imron, 1995:42-43). Pembacaan teks sastra, pembacaan melakukan interpretasi secara representasial melalui tanda linguistik. Dalam hal ini pembaca diharapkan mampu memberi arti terhadap bentuk-bentuk linguistik yang mungkin saja gramatikal. Pembaca berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, dalam arti bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal yang nyata.
            Model analisis ini, ada tiga komponen yaitu:
a. Reduksi Data
            Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerdahanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Hasil wawancara dapat disusun menjadi data yang dapat diabstrasikan tanpa mengurangi nilai-nilainya atau diperlukan secara utuh. Hal yang penting di dalam reduksi data adalah analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu hingga kesimpulan-kesimpilan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
b. Sajian Data
Setelah dilakukan reduksi data maka alur kedua adalah penyajian data, dengan melihat gambaran menyeluruh maka data yang dikumpulkan harus diusahakan dibuat suatu bentuk matriks atau grafik untuk menghindari penenggelaman data yang telah didapat. Menurut Sutopo (2002:89), menyatakan bahwa penyajian data merupakan bagian dari suatu analisis.
c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturan, pola-pola, pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi (Sutopo, 2002:93). Dalam penarikan kesimpulan (verifikasi) ini tidak terlepas dari reduksi dan penyajian data dan melakukan diverifikasi selama penelitian berlangsung untuk dapat memberi makna yang telah teruji kebenarannya.


DAFTAR PUSTAKA
Bahasa, Balai. 2006. Bausastra Jawa. Yogyakarta: Kanisius.
Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi.
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi.
Imron, Ali. 1995. Dimensi Keagamaan Novel Keluarga Permana Karya Ramadhan KH. Thesis Pasca Sarjana UGM.
H.B., Sutopo. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Heriwijaya, M. 2004. Islam Kejawen. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Kalidjaga, Kangdjeng Susuhunan. Kidungan Pepak Djangkep. Surakarta: Muliya.: Yrama Widya.
Lexy, Moleong J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mangunsuwita. 2002. Kamus Bahasa Jawa. Bandung: Yrama Widya.
Rosidi, Ajip. 1776. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru.
Satoto, Soediro. 1995. Pengantar Pengkajian Drama. Surakarta: UNS Press.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa.
Teeuw. A. 1984. Sastra dalam Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wiryapanitra, R. 1979. Serat Kidungan Kawedhar. Jakarta: Departemen P dan K.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar